HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SYIHAB : UJUNG - UJUNGNYA DUIT

Fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta sejak akhir tahun 1970 an hingga kini telah membagikan bea siswa kepada ribuan pelajar Indonesia untuk melanjutkan kuliah ke berbagai Universitas di Saudi.

HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SYIHAB : TOLERANSI ASWAJA

Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepanjang zaman tidak pernah berhenti mengkritisi segala bentuk penyimpangan Firqoh di luar Aswaja, dengan cara ilmiah dan penuh hikmah. Ulama Aswaja tidak pernah menutup pintu Dialog Lintas Madzhab dan Firqoh Islam, bahkan Dialog Lintas Agama sekali pun telah sejak lama menjadi bagian Da’wah penting Aswaja.

TANTANGAN DAN SOLUSI TOLERANSI ANTAR UMAT ISLAM

'Upaya membangun Peradaban Dialog untuk mewujudkan Toleransi Antar Umat Islam selama ini memiliki Tantangan dan Halangan yang cukup berat, antara lain :

Walisongo Islamkan Nusantara - JIN Nusantarakan Islam '

alah satu Tak-Tik dalam Strategi Devide et Impera, yaitu Politik Adu Domba yang dilakukan Penjajah Belanda di Indonesia, adalah membenturkan Hukum Islam dengan Hukum Adat.’uddin.

Toleransi Antar Umat Islam

Istilah At-Taqriib Bainal Madzaahibil Islaamiyyah yaitu Taqrib Antar Madzhab Islam atau Pendekatan Antar Madzhab Islam dikritisi oleh Dua Pemikir Islam abad ini :

Ibnu Taimiyah Dan Ahlul Bait

Kitab Minhaajus Sunnah fii Naqdhi Kalaami Asy-Syii’ah wa Al-Qoadariyyah adalah karya Asy-Syeikh Ahmad b Abdul Halim b Abdissalam rhm (671 – 728 H) yang masyhur dengan sebutan Ibnu Taimiyah. Kitab tersebut banyak dikaji dan ditakhrij oleh Ulama, salah satunya ditakhriij oleh Muhammad Aiman Asy-Syabroowi, terbitan Darul Hadits – Cairo – Mesir, 4 jlid 8 juz dengan total 2.400 halaman, cetakan tahun 1425 H / 2004 M.

Jumat, 20 Maret 2015

USTADZ JA'FAR SIDIQ : UCAPAN KOTOR AHOK ADALAH CERMINAN AKHLAK NYA YANG BURUK.


FPI menilai pernyataan kotor yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di salah satu stasiun televisi membuktikan kalau orang nomor satu di Pemprov DKI tersebut memiliki moral yang buruk.

Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat FPI Ustadz Jafar Sidiq mengatakan, pernyataan kotor yang dilontarkan Ahok itu mencerminkan akan akhlak dan perangai yang buruk. Padahal, jelas-jelas kalau televisi itu merupakan konsumsi publik yang disaksikan oleh semua lapisan masyarakat, baik orang tua maupun anak muda.

"Tuh kan bener, kami bilang juga apa. Ahok itu moralnya buruk, mulut mirip comberan kalau ngomong. Sekarang terbukti kan dan disaksikan oleh semua orang pula. Sekarang juga dia kebanjiran kritikan akibat keburukan akhlaknya itu," ujar Ustadz Jafar Sidiq. Jumat (20/3/2015).

Menurut Ustadz Jafar, seorang pemimpin sudah sepatutnya menjaga segala macam perbuatan dan ucapannya itu. Sebab, seorang pemimpin merupakan panutan bagi rakyatnya. Jika pemimpinnya saja memiliki moral yang negatif, bukan tidak mungkin kalau moral masyarakat pun akan semakin terpuruk.

"Semua perbuatan dan ucapan itu harus selaras. Jika kita mau berbuat baik, tentu kita pun harus berkata yang baik pula. Pemeberantasan korupsi misalnya, kita pun harus melakukannya dengan cara-cara yang baik jika ingin memberantas sampai ke akar-akarnya. Kalau Gubernurnya saja seperti itu, bagaimana nanti masyarakat mencontohnya," tutupnya.

Klik : http://mozaikharokahfpi.blogspot.com/2015/03/ustadz-jafar-sidiq-ucapan-kotor-ahok.html

Kamis, 19 Maret 2015

USTADZ AWIT MASYHURY : SELAMA PEMERINTAH TIDAK ZOLIM, INSYA ALLAH TIDAK ADA ISIS DI INDONESIA.

Ketua Bidang Hizbah Front Pembela Islam Awit Masyhuri mengatakan banyaknya warga negara Indonesia yang bergabung dengan Iraq and Syria Islamic State atau ISIS tak perlu ditanggapi serius.
Menurutnya, telah menjadi hak seseorang hendak berlabuh kemana mereka inginkan.

"Yang mau gabung ISIS itu hak individu dia. Selama pemerintah Indonesia tidak dzalim sama rakyatnya, Inshaa Allah tidak ada itu ISIS di Indonesia," kata Ustadz Awit kepada wartawan Kamis (19/3).

Lebih jauh, faktor ekonomi atau tawaran yang diberikan ISIS ibarat hadiah kesekian yang diincar para WNI yang berangkat ke Suriah. Pasalnya, dorongan ideologi, jelas Ust Awit, menjadi faktor yang lebih kuat membawa mereka ke tempat yang mereka anggap medan jihad.

"Ini saya lihat lebih ke ideologi yang dominan," katanya.

Secara pribadi, Ust Awit belum memutuskan apakah ia mendukung atau tidak tindakan ISIS. Ia berpendapat belum menemukan titik kebenaran dan pesan jihad ISIS. "Saya belum menyatakan benar atau tidak, saya belum temukan benang merahnya ISIS ini apa," ujarnya.

Menanggapi wacana pencabutan kewarganegaraan oleh pemerintah atas WNI yang terlibat atau bergabung dengan ISIS, dianggap Ust Awit terlalu berlebihan. Bahkan, dengan mayoritas faktor ideologi, WNI yang diputus kewarganegaraannya merasa senang.

"Pemerintah jangan sombong cabut kewarganegaraan, dekati ulama atau habib dan lainnya untuk konsultasi. Yang menolak ISIS jangan meremehkan mereka yang masuk ISIS, nanti mereka malah bereaksi keras," ujar Ust Awit.

Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman mengusulkan pencabutan status kewarganegaraan warga negara Indonesia (WNI) yang secara tegas mendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) maupun kelompok radikal yang lain. Saat ini BIN tengah mengupayakan agar dibuat aturan yang lebih tegas sehingga tidak mudah dilanggar.

Kunjungi : http://mozaikharokahfpi.blogspot.com/2015/03/ustadz-awit-masyhury-menjadi-isis.html

MAKLUMAT FPI TENTANG ISIS
Klik : http://mozaikharokahfpi.blogspot.com/2014/08/maklumat-fpi-tentang-isis.html

Selasa, 17 Maret 2015

FPI BERSAMA ORMAS TASIKMALAYA DEKLARASIKAN ANTI SYIAH.


Dirasakan atau tidak, perkembangan ajaran sesat dan menyesatkan Syiah telah menimbulkan kegelisahan di kalangan ummat Islam. Sikap agresif baik langkah keagamaan maupun gerakan politik yang dilakukannya dapat menimbulkan konflik horizontal sehingga dapat merusak aqidah sekaligus membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk menghadang laju penyebaran ajaran sesat Syiah di wilayah NKRI, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) telah mendeklarasikan dan mengukuhkan pengurus ANNAS di beberapa daerah. Usai sukses gelaran Deklarasi dan Pengukuhan Pengurus ANNAS Wilayah Kalimantan Timur Daerah Kota Balikpapan, Ahad, 8 Maret 2015 lalu, pekan depan ANNAS Pusat akan Mendeklarasikan dan Mengukuhkan Pengurus ANNAS Wilayah Jawa Barat Daerah Tasikmalaya, pada:

Hari / Tanggal : Ahad, 22 Maret 2015; Pkl. 08.00-12.00 WIB

Tempat : Masjid Agung Tasikmalaya – Jawa Barat

Orator :

1. K.H. Amang Baden (Tokoh Ulama Pondok Pesantren)
2. K.H. Achef Noor Mubarok (Ketua MUI Kota Tasikmalaya)
3. K.H. Drs. Ii Abdul Basith (Ketua MUI Kabupaten Tasikmalaya)
4. Ust. Yahya Zakariya, MA (Jamaah Anshar Syariah)
5. K.H. Dedi Rahman (Majelis Syuro ANNAS Pusat)
6. K.H. Aminuddin Bustomi, M.Ag. (Tokoh Aktifis Muda Tasikmalaya)
7. Ust. Roinul Balad (DDII Jawa Barat)
8. Drs. H. Syarif Hidayat, M. Si (Tokoh Masyarakat Tasikmalaya)
9. H. Aef El Hakim (Aliansi Aktifis Masyarakat Muslim Tasikmalaya)
10. K.H. Drs. Dedi Zulharman, MA (PUI)
11. K.H. Athian Ali M. Da’i, Lc. MA (Ketua ANNAS Pusat)

Gelaran Deklarasi ini didukung oleh tidak kurang dari 200 Tokoh Pesantren, Seluruh Santri, Pelajar, Mahasiswa dan Aktifis Islam Se-Tasikmalaya Raya yang mengusung Tema: Ummat Islam Bersatu Melawan Syiah. Panitia Deklarasi mengundang kaum Muslimin untuk menghadirinya.

Bandung, 14 Maret 2015
Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS),

Tardjono Abu Muas
Sekretaris

Klik : http://mozaikharokahfpi.blogspot.com/2015/03/fpi-bersama-ormas-tasikmalaya.html

KH.MISBAHUL ANAM : HUKUM MATI WARGA CHINA PENGEDAR SABU.!!!

Terkait penangkapan tiga warga China dan satu warga Indonesia oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) karena terbukti memiliki 47 kilogram sabu, Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam (FPI) KH. Misbahul Anam meminta agar pemerintah tegas dengan memberikan hukuman mati.

"Pemerintah harus tegas dalam perang melawan narkoba. Buktikan dengan hukuman mati bagi yang memproduksi, bandar, pengedar bahkan pengguna yang tidak mau tobat dan berhenti memakai barang haram tersebut," ujar Kyai Anam kepada Suara Islam Online, Selasa (17/3/2015).

Dijelaskannya, narkoba merupakan salah satu jenis khamr yang diharamkan dalam Islam, bahkan agama lain juga melarangnya. Sehingga keberadaannya harus dimusnahkan. Pemerintah diminta untuk tidak takut intervensi negara lain dalam memberlakukan hukuman mati.

"Pemerintah harus punya nyali dan tidak perlu takut dengan tekanan atau ancaman negara lain. Indonesia adalah negara merdeka yang berdaulat dan punya harga diri, jadi harus tegas," tandasnya.

"Jika pemerintah menginginkan masa depan anak bangsa berakhlak dan punya integritas tinggi, maka jangan ditunda untuk pemberantasan secara tuntas dengan narkoba," tambahnya.

Sebelumnya, 3 warga China dan 1 WNI ditangkap BNN Jumat malam (13/3) di Jakarta karena memiliki 47 kg sabu. Menurut Kepala Humas BNN Kombes Slamet Pribadi, barang haram tersebut akan dijual di Jakarta. "47 kg sabu itu bisa mematikan ribuan nyawa manusia," ungkapnya.

http://mozaikharokahfpi.blogspot.com/2015/03/warga-china-ditangkap-bawa-sabu-47-kg.html

Rabu, 11 Maret 2015

Munarman: Tersangka Kasus Bentrok Demo Ahok adalah Korban Salah Tangkap


Jakarta - Ketua Badan Ahli Front, Munarman, SH menjadi saksi dalam lanjutan sidang kasus bentrokan antara massa Laskar Pembela Islam (LPI) dengan aparat kepolisian di depan kantor DPRD DKI Jakarta Jl. Kebon Sirih Jakarta Pusat, Jumat (3/10/2014) lalu. Ketika itu massa LPI hendak melakukan aksi damai menolak Basuki Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Dalam kesaksiannya, Munarman menjelaskan pada Jumat (3/10) itu ada dua kejadian, didepan kantor DPRD DKI Jl. Kebon Sirih dan di Jl. Merdeka Selatan. Kebetulan saat itu ia hadir tidak jauh dari lokasi untuk memantau sekaligus mendokumentasikan kegiatan.

"Aksi demo sempat berhenti di depan kantor DPRD, saya tidak tahu kenapa disitu karena sepengetahuan saya surat pemberitahuan demo itu di Balaikota bukan di DPRD. Lalu terjadi beberapa menit orasi massa di depan kantor DPRD, tapi tiba-tiba pintu gerbang kantor DPRD dibuka, setelah itu ada teriakan-teriakan kemudian terjadi lempar-lemparan yang awalnya lemparan botol aqua saja. Tidak hanya dari massa, polisi juga melempar dari dalam. Setelah kejadian itu massa lalu berjalan ke arah Jl. Merdeka Selatan (sekitar Kedubes AS)," ungkap Munarman di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2015).

Ia melanjutkan, saat peristiwa bentrokan di Kebon Sirih itu tidak ada penangkapan, "Namun begitu massa bergerak menjelang Jl. Merdeka Selatan, tiba-tiba ada mobil aparat membunyikan bunyi sirine, lalu ada mobil water canon, lalu diletuskan gas air mata, saat itulah terjadi penangkapan," jelas Munarman.

"Nah yang saya lihat, antara peristiwa lempar-lemparan di Kebon Sirih dan penangkapan di Merdeka Selatan, justru yang ditangkap polisi itu bukan orang-orang yang saling lempar di DPRD, tapi yang ditangkap ini yang mau demo di depan Balaikota. Karena banyak juga massa yang langsung datang ke Balaikota," tambahnya.

Saat itulah, kata Munarman, terjadi kekerasan yang berlebihan oleh aparat kepolisian. "Penangkapan ini dilakukan secara sembarangan, misalnya saudara Asep, dia baru datang ke Jl Merdeka tapi langsung ditangkap dan digebukin. Anak-anak ini pada dipukulin oleh polisi, bahkan anak-anak yang sudah ditangkap didalam mobil tahanan itu dilempari gas air mata," ungkap Munarman sambil memperlihatkan foto-foto dan videonya.

Advokat senior itu menegaskan bahwa polisi tidak menangkap para pelaku bentrokan di Kebon Sirih melainkan yang ada di Jl Merdeka Selatan.

"Jadi intinya yang mau saya smpaikan, mereka ini tidak terlibat. Mereka adalah korban salah tangkap semua. Jadi antara orang-orang yang saling lempar di Kebon Sirih itu berbeda dengan yang ditangkap di Jl Merdeka," pungkasnya.

Sumber : www.suara-islam.com

Ibnu Taimiyah Dan Ahlul Bait



Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ...
Bismillaah Wal Hamdulillaah ...
Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ...
Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ...
Kitab Minhaajus Sunnah fii Naqdhi Kalaami Asy-Syii’ah wa Al-Qoadariyyah adalah karya Asy-Syeikh Ahmad b Abdul Halim b Abdissalam rhm (671 – 728 H) yang masyhur dengan sebutan Ibnu Taimiyah. Kitab tersebut banyak dikaji dan ditakhrij oleh Ulama, salah satunya ditakhriij oleh Muhammad Aiman Asy-Syabroowi, terbitan Darul Hadits – Cairo – Mesir, 4 jlid 8 juz dengan total 2.400 halaman, cetakan tahun 1425 H / 2004 M.
Kitab tersebut ditulis oleh Ibnu Taimiyah rhm sebagai tanggapan terhadap Kitab Minhaajul Karoomah fii Ma’rifatil Imaamah karya Abu Manshur Hasan b Yusuf b Muthohhar Al-Hilliy (w : 726 H) seorang Ulama Syiah Roofidhoh yang dalam kitabnya tersebut menghujat para Shahabat Nabi SAW, khususnya Dua Khalifah yang mulia yaitu : Sayyiduna Abu Bakar RA dan Sayyiduna Umar RA.
Dalam kitab tersebut, Ibnu Taimiyah rhm dengan sangat bagus dan brillian melakukan pembelaan terhadap para Shahabat Nabi SAW dari serangan Syiah Roofidhoh, namun sayang mungkin karena terlalu semangat atau penuh emosi, sehingga dalam menanggapi hujatan Syiah Roofidhoh tersebut, terkadang beliau kebablasan sehingga merendahkan Ahli Bait Nabi SAW.
IBNU TAIMIYAH DAN SAYYIDAH KHADIJAH RA
Ibnu Taimiyah rhm dengan sangat bagus sekali melakukan pembelaan terhadap Sayyidah Aisyah RA yang dilecehkan Syiah Roofidhoh. Beliau dengan sangat cermat dan teliti mengemukakan hujjah-hujjah yang kuat tak terbantahkan. Namun, saking semangatnya menyerang Syiah Roofidhoh yang menyanjung Sayyidah Khadijah RA dengan merendahkan Sayyidah Aisyah RA, sehingga Ibnu Taimiyah rhm terjebak dalam posisi kebalikannya yaitu menyanjung Sayyidah Aisyah RA dengan merendahkan Sayyidah Khadijah RA.
Dalam pembelaannya terhadap Sayyidah Aisyah RA, Ibnu Taimiyah rhm meremehkan peran Sayyidah Khadijah RA dengan menyebut bahwa manfaat iman Sayyidah Khadijah RA hanya terbatas untuk Nabi SAW dan tidak manfaat buat umat Islam. (Juz 4 hal.138 ).   
IBNU TAIMIYAH DAN SAYYIDAH FATHIMAH RA
Ibnu Taimiyah rhm juga sangat piawai dan cerdas dalam membela Sayyiduna Abu Bakar RA dari serangan Syiah Roofidhoh, sehingga semua hujjah Syiah Roofidhoh rontok dan terserabut hingga akar-akarnya. Namun, tatkala beliau menyoroti dan mengulas tentang perselisihan yang terjadi antara Sayyiduna Abu Bakar RA dan Sayyidah Fathimah RA terkait Tanah Fadak, maka Ibnu Taimiyah rhm terjebak dalam sikap merendahkan Sayyidah Fathimah RA.
Dalam kitab tersebut Ibnu Taimiyah rhm menyatakan tentang Sayyidah Fathimah RA putri Rasulullah SAW, antara lain :
a)      Bahwa Pertikaian Fathimah RA dan Abu Bakar RA telah menjadi cela dan cacat buat Fathimah RA. (Juz 4 hal. 111).
b)    Bahwa Sikap Fathimah RA tercela karena ingin menyampaikan keluhan kepada Rasulullah SAW di Hari Akhir nanti tentang keadaan yang menimpanya sepeninggal sang ayah, padahal keluhan itu semestinya kepada Allah SWT bukan kepada Nabi SAW. (Juz 4 hal.111).
c)    Bahwa Kemarahan Fathimah RA terhadap Abu Bakar RA seperti kemarahan kaum munafiqin karena hanya lantaran sebab tidak diberi permintaannya. (Juz 4 hal.112).
d)   Bahwa Fathimah RA bodoh dan berdosa karena berwasiat agar jenazahnya tidak dishalatkan Abu Bakar RA. (Juz 4 hal.113).
e)    Bahwa tidak ada keutamaan Fathimah RA yang terkait ridho Allah SWT ada dalam ridhonya dan kemurkaan Allah SWT ada dalam murkanya. (Juz 4 hal.114).
f)       Bahwa yang menyakiti Fathimah RA adalah Ali RA, karena ingin memadunya dengan putri Abu Jahal, sehingga Nabi SAW murka. (Juz 4 hal 115).
g)     Bahwa Kesedihan Fathimah RA atas kematian ayahandanya, yaitu Rasulullah SAW, sebagai kesedihan yang tidak perlu karena tidak diperintah oleh Nabi SAW. (Juz 8 hal.243 ).

IBNU TAIMIYAH DAN SAYYIDUNA ALI RA
Dalam kitab Minhaajus Sunnah tersebut, Ibnu Taimiyah rhm menyebutkan tentang Sayyiduna Ali b Abi Thalib RA antara lain sebagai berikut :
a)      Bahwa Ali RA bodoh karena berhujjah dengan wasiat Fathimah RA agar jenazahnya tidak dishalatkan Abu Bakar RA. (Juz 4 hal 113).
b)      Bahwa Ali RA tidak adil dan pelaku Nepotisme serta membenci rakyatnya sendiri. (Juz 6 hal.11 & Juz 7 hal.260).
c)      Bahwa Ali RA tidak dibaiat sebagai khalifah kecuali oleh golongan kecil atau sedikit, bahkan banyak orang baik yang memeranginya. Dan Ali RA selama kekhilafahannya tidak menampakkan / menjayakan agama Islam. Serta pembaiatan Ali RA tidak disepakati oleh umat Islam, dan selama kekhalifahannya pedang hanya terhunus untuk orang Islam. (Juz 4 hal.51, 56 dan 75).
d)     Bahwa Ali RA ditegur keras oleh Nabi SAW saat hendak memadu Fathimah RA dengan putri Abu Jahal, dan Ali RA membantah saat diajak shalat malam oleh Nabi SAW dengan alasan Qadar. (Juz 4 hal 110 dan 115).
e)      Bahwa pendapat Ali RA banyak bertentangan dengan Hadits Nabi SAW, dan Ali RA sering tidak mau mencabut pendapatnya yang sudah terang-terangan bertentangan dengan Hadits Nabi SAW. Dan Ali RA pernah menunda pembaiatan Abu Bakar karena ia yang ingin jadi Khalifah. (Juz 6 hal.16 dan Juz 7 hal.243).
f)       Bahwa Ali RA tidak menjadi rujukan karena tidak ada satu pun Imam Madzhab yang ikut fiqihnya, bahkan Ahli Madinah tidak ada yang ambil ilmunya, karena Ali RA tidak banyak tahu hadits. (Juz 6 hal.22, Juz 7 hal.277-278 dan 283 & Juz 8 hal.28).
g)      Bahwa Ali RA telah membuat perang yang tidak ada mashlahat buat agama mau pun dunia, dan dalam kekhilafahannya tak seorang kafir pun terbunuh dan tak seorang muslim pun yang gembira. Dan Ali RA hanya perang untuk jabatan dan kekuasaan dengan mengorbankan orang banyak. (Juz 4 hal 175 & Juz 6 hal.105 ).
h)   Bahwa dalil keabsahan Kekhilafahan Ali RA sedikit, dan selama kekhilfahannya tidak pernah memerangi orang Kafir, dan tidak pernah pula ada penaklukan negeri Kafir, karena perang antara kaum muslimin sendiri. (Juz 1 hal.320, Juz 4 hal. 208 – 210 & 226 - 230 ).
i)     Bahwa Ali RA tidak mendapat pujian dari Nabi SAW lebih tinggi daripada Umar RA mau pun Utsman RA serta Shahabat lainnya, bahkan Ali ditegur keras oleh Nabi SAW. (Juz 4 hal.110).
j)     Bahwa Hijrah Ali RA hanya untuk menikahi Fathimah RA, sehingga Hijrah Ali RA bukan untuk Allah SWT dan Rasul-Nya. (Juz 4 hal.116).
k)   Bahwa Ali RA tidak memiliki keutamaan di atas Shahabat lain dalam soal Zuhud, Ibadah, Ilmu, Kecerdasan, Khithobah, Fashohah, Fiqih, Kesilaman, Keberanian mau pun Kekerabatannya dan Kedekatannya dengan Nabi SAW (Juz 5 hal.9 -38  & Juz 8 hal 29 – 50 dan 223-225 serta 263 – 287).
l)      Bahwa kebanyakan Shahabat dan Tabi’in membenci Ali RA dan mencacinya serta memeranginya. (Juz 7 hal.77 dan Juz 8 hal.124).
m)   Bahwa keislaman Ali RA tidak memiliki pengaruh yang bagus kecuali sama dengan keislaman shahabat yang lain, bahkan keislaman Shahabat yang lain lebih besar pengaruhnya daripada keislaman Ali RA.(Juz 7 hal.109).
n)      Bahwa peran Ali RA dalam perang Badar mau pun perang-perang lainnya tidak seberapa. (Juz 7 hal 110 dan Juz 8 hal.50 - 70).
o)   Bahwa umat Islam dari Timur hingga Barat, termasuk penduduk Madinah hampir tidak pernah mengambil pendapat Ali RA.(Juz 8 hal.28).
p)      Bahwa Ali RA sebagai orang paling berani adalah pernyataan dusta. (Juz 8 hal.44).
q)      Bahwa Islamnya Ali RA masih kecil sehingga diragukan dan masih perlu dipertanyakan. (Juz 8 hal 153 dan 224 - 225 ).
r)    Bahwa Muawiyah RA tidak ingin perang, tapi Ali RA yang inginkan perang dan memulainya, maka Muawiyah RA hanya bela diri, sehingga Ali RA yang tercela dan bersalah karena menumpahkan darah kaum muslimin. (Juz 4 hal.200).
s)       Bahwa Ali RA salah karena telah memberhentikan Muawiyah RA tanpa alasan, dan Ali RA juga salah dalam ijtihadnya memerangi Mu’waiyah RA, bahkan sulit diampuni. (Juz 4 hal. 207- 209 dan Juz 6 hal.25 ).
t)     Bahwa Ali RA telah memulai memerangi orang Islam yang tidak memeranginya dengan alasan Bughot hingga ribuan kaum muslimin terbunuh, dan sebagian Ulama menyetujui pendapatnya, tapi kebanyakan Ulama menyalahinya. (Juz 8 hal.123 - 124).
u)    Bahwa Ali RA dalam kepemimpinannya tidak memerangi orang kafir dan tidak juga merebut suatu kota, bahkan membunuh seorang kafir pun tidak. (Juz 8 hal.128).
v)  Bahwa hubungan mushoharah Ali RA dengan Rasulullah SAW tidak sesempurna hubungan mushoharah Ustman RA dengan Nabi SAW. (Juz 8 hal.125).
w)    Bahwa Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA tidak membutuhkan Ali RA. (Juz 8 hal. 149).
x)      Bahwa membenci Ali RA tidak munafiq. (Juz 4 hal.135-136 dan Juz 7 hal.83 - 86).
y)      Bahwa Ali RA seperti Fir’aun. (Juz 4 hal 136 & 227).
z)      Bahwa Ali RA amal terbaiknya hanya memerangi Khawarij. (Juz 6 hal.65).
IBNU TAIMIYAH DAN CUCU RASULULLAH SAW
Saat membela Mu’awiyah RA serta Yazid dan Bani Umayyah, Ibnu Taimiyah RA lagi-lagi terjebak dalam penghinaan terhadap Ahlul Bait Nabi SAW, di antaranya adalah Dua Cucu Rasulullah SAW yaitu Sayyiduna Al-Hasan RA dan Sayyiduna Al-Husein RA. Di antaranya beliau menyatakan :
a)    Bahwa tidak ada dalil tentang kezuhudan dan keilmuan Al-Hasan RA dan Al-Husein RA, sedang julukan keduanya sebagai Dua Pemimpin Pemuda Surga tiada makna istimewa. (Juz 4 hal 19 – 20 dan 78).
b)      Bahwa Al-Husein RA menginginan kekuasaan, namun saat tidak mampu baru minta dipertemukan dengan Yazid. (Juz 2 hal. 29).
c)   Bahwa Yazid adalah Khalifah yang sah, sedang Al-Husein RA adalah pemberontak yang salah, karena Al-Husein tidak sabar, sehingga pemberontakannya tidak ada manfaat agama mau pun dunia, bahkan hanya menyebabkan fitnah besar. (Juz 4 hal.241).
d)     Bahwa pembunuhan terhadap Al-Husein RA masalah kecil dibandingkan dengan pembunuhan para nabi oleh Bani Israil, karena Al-Husein bukan Nabi. ( Juz 4 hal.252 ).
e)    Bahwa sejahat-jahatnya Umar b Sa’ad Si Pembunuh Al-Husein RA tetap muslim tidak murtad, bahkan jauh lebih baik daripada Mukhtar Ats-Tsaqofi Si Pembela Al-Husein RA yang akhirnya murtad karena mengaku sebagai Nabi.(Juz 2 hal.31).
Itulah sebabnya, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani rhm dalam kitab Ad-Durorul Kaaminah saat mengulas tentang Ibnu Taimiyah, menyatakan :
" ومنهم من ينسبه إلى النفاق لقوله في علي ما تقدم ."
Artinya : ”Dan daripada mereka (para Ulama) ada yang menisbahkannya (Ibnu Taimiyah) kepada Nifaq, karena ucapan / pernyataannya terhadap Ali sebagaimana telah disebutkan.”
Nah, kini pertanyaannya : ”Apa hukum menghina dan merendahkan Ahli Bait Nabi SAW yang juga merupakan Shahabat paling setianya, seperti Khadijah, Fathimah, Ali dan Al-Hasan serta Al-Husein, rodhiyallaahu ‘anhum ?”
WAHABI MEMBELA IBNU TAIMIYAH
Kaum ”Wahabi Ekstrim” berbeda dengan ”Wahabi Moderat”. Kalangan ”Wahabi Moderat” tidak sungkan menerima kritik Ulama Aswaja terhadap Ibnu Taimiyah rhm, dan mereka pun dalam membela Ibnu Taimiyah rhm tetap santun dan tidak berlebihan.
Sedang Kalangan ”Wahabi Ekstrim” terlalu berlebihan dalam membela Ibnu Taimyah, seolah Ibnu Taimiyah itu ”Nabi” yang ”Ma’shum tanpa dosa dan kesalahan”. Semua kritik Ulama Aswaja terhadap Ibnu Taimiyah disebut sebagai FITNAH, bahkan siapa pun yang mengkritik Ibnu Taimiyah, langsung dituduh Syiah, atau divonis ternodai oleh paham Syiah, lebih dari itu mereka terkadang langsung mengkafirkannya dan menghalalkan darahnya.
Kaum ”Wahabi Ekstrim” pun mengkatagorikan Ibnu Taimiyah sebagai Ulama Salaf, sehingga siapa yang mengkritiknya berarti menghina dan melecehkan Ulama Salaf. Padahal, Terminologi Salaf itu hanya berlaku bagi Kaum Sholihin yang hidup di Tiga Abad Pertama Hijriyyah, sesuai hadits Nabi SAW yang berbunyi :
” خير القرون قرني هذا ، ثم الذي يليه ،  ثم الذي يليه ”.
”Kurun (Abad) terbaik adalah kurunku ini, kemudian yang  berikutnya, lalu yang berikutnya.”
Nah, Kaum Sholihin yang hidup di masa tersebut adalah Shahabat, kemudian Tabi’in, lalu Tabi’it Tabi’in. Karenanya, Ibnu Taimiyah rhm tidak termasuk Ulama Salaf, sebab beliau lahir di akhir Abad Ketujuh Hijriyyah dan wafat di awal Abad Kedelapan Hijriyyah, bukan di Tiga Abad Pertama Hijriyyah yang merupakan Zaman Salaf dengan kesepakatan Ulama.
Dalam soal pernyataan Ibnu Taimiyah rhm terhadap kehormatan Ahli Bait Nabi SAW yang sudah terang benderang termaktub dalam kitab karangannya sendiri, bahkan para Ulama Aswaja telah menanggapi dan memberi penilaian sejak ratusan tahun lalu, melalui kitab-kitab mereka yang mu’tabar, tetap saja Kaum ”Wahabi Ekstrim” menyatakan itu semua FITNAH.
Jadi, jangan heran jika ”Wahabi Ekstrim” selalu menuduh bahwa Aswaja adalah Pendusta, Pembohong, Penyebar Fitnah dan Pemecah Belah Umat. Padahal, sebetulnya merekalah yang Pendusta, Pembohong, Penyebar Fitnah dan Pemecah Belah Umat. Itulah yang disebut Maling Teriak Maling.
Kaum ”Wahabi Ekstrim” berusaha membela Ibnu Taimiyah rhm dengan ”dalih” bahwa : ”Sesungguhnya semua pernyataan yang menghujat Ahli Bait Nabi SAW dalam kitab Minhaajus Sunnah bukanlah pernyataan Ibnu Taimiyah, melainkan pernyataan Kaum Nawaashib yang dinukilkan Ibnu Taimiyah untuk menanggapi Kaum Roofidhoh. Buktinya, dalam kitab tersebut Ibnu Taimiyah ada memuji dan membela Ahlul Bait ”
CATATAN ASWAJA
Namun Aswaja memiliki beberapa catatan terhadap pembelaan Wahabi tersebut, antara lain :
1.      Kenapa semua pernyataan Kaum Roofidhoh yang menghujat Shahabat Nabi SAW dijawab secara tegas dan lugas serta tuntas oleh Ibnu Taimiyah rhm, namun banyak pernyataan Khawaarij / Nawaashib yang menghujat Ahli Bait Nabi SAW justru tidak dijawab tuntas oleh Ibnu Taimiyah, bahkan justru dijadikan alat untuk menjawab Roofidhoh ?!
2.      Apalah artinya pembelaan dan pujian Ibnu Taimiyah rhm untuk Ahlul Bait, jika dicampur dengan aneka hinaan dan pelecehan ?  Justru, jadi kontradiksi dan terkesan ”Mudzabdzab”.
3.     Pola Jawab Ibnu Taimiyah rhm terkesan sangat angkuh dan terasa amat berlebihan, sehingga terkadang beraroma merendahkan Ahlul Bait, misalnya :
a) Juz 2 hal. 27 Ibnu Taimiyah menyatakan :
”Jika mereka (Roofidhoh) berhujjah tentang kemutawatiran riwayat keislaman Ali dan Hijrah serta Jihadnya, maka riwayat mereka (Khawaarij / Nawaashib) pun Mutawatir tentang keislaman Mu’waiyah, Yazid, dan para Khulafa Bani Umayyah dan Bani Abbas, serta tentang Shalat, Puasa dan Jihadnya melawan orang-orang kafir. Jika mereka (Roofidhoh) menuduh mereka dengan Nifaq, maka Khawarij (Nawaashib) pun lebih bisa menuduh (Ali) dengan Nifaq. Jika mereka (Roofidhoh) menyebutkan suatu dalih, mereka (Khawaarij) punya dalih lebih hebat lagi.”    
b) Juz 4 hal.175 Ibnu Taimiyah menyatakan :
“ Jika Rafidhi menyatakan bahwa Mu’awiyah adalah Pemberontak yang Zholim, maka Nashibi (Khawaarij) akn mengatakan kepadanya : ”Ali juga Pemberontak Zholim, karena membunuh kaum muslimin untuk merebut kekuasaannya, dan dia yang memulai perang, serta menyerang umat Islam, lalu menumpahkan darah umat Islam tanpa manfaat bagi mereka, baik manfaat dunia mau pun akhirat, dan di zamannya pedang terhunus terhadap kaum muslimin, tidak pernah diarahkan ke kaum kafirin.”
c)  Juz 6 hal.185 Ibnu Taimiyah mengatakan :
”Inilah Hujjah Khawarij (Nawaashib). Dan Hujjah mereka dalam menghujat Ali lebih kuat daripada Hujjah Syiah (Roofidhoh) dalam membela Ali. Dan Pedang mereka lebih kuat daripada pedang Syi’ah, Agama mereka pun lebih sah, dan mereka orang-orang yang jujur bukan pembohong ...”
Terkait dengan berbagai pernyataan Ibnu Taimiyah rhm yang tidak patut terhadap Ahlul Bait Nabi SAW, sejumlah Ulama Aswaja telah menanggapinya melalui berbagai karya tulis mereka, di antaranya adalah kitab Al-Maqoolaat As-Sunniyyah Fii Kasyfi Dholaalaati Ibni Taimiyyah karya Asy-Syeikh Abdullah Al-Harawi. Selain itu masih ada kitab Akhthoo-u Ibni Taimiyah Fii Haqqi Rasuulillaahi wa Ahli Baitihi karya DR. Mahmud As-Sayyid Shubaih, yang ditanggapi oleh pengikut Ibnu Taimiyah rhm melalui kitab dengan judul Rof’ul Malaam ‘an Syaikhil Islaam karya DR. ‘Athiyyah ‘Adlaan.
KESIMPULAN
Ibnu Taimiyah rhm adalah Ulama Besar di zamannya, keluasan ilmu dan kecerdasannya dalam berhujjah diakui oleh para Ulama Aswaja. Namun demikian, beliau ”tidak ma’shum”, sehingga  tidak luput dari kesalahan dalam berijtihad sebagaimana Ulama yang lainnya.
Harus kita akui dengan jujur bahwasanya Ibnu Taimiyah rhm pada akhirnya bertaubat dari sikap ”Takfir” sebagaimana disebutkan oleh muridnya sendiri yaitu Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab Siyar A’laamin Nubalaa Juz 11 Nomor 2.898, tatkala membahas tentang Imam Asy’ari rhm.
Dan harus kita akui dengan jujur pula bahwasanya Ibnu Taimiyah rhm pernah menulis sebuah kitab khusus tentang Ahli Bait Nabi SAW dengan judul Huquuq Aalil Bait. Dalam kitab tersebut beliau menunjukkan rasa cinta dan penghormatannya yang tinggi terhadap Ahlul Bait.
Serta mesti kita akui dengan tulus dan ikhlas pula bahwasanya Ibnu Taimiyah rhm dalam kitabnya Majmuu’ Faataawaa menolak sikap ”Takfir” antar sesama muslim. Semua pernyataannya bisa kita cermati antara lain :
1.      Dalam juz 3 hal.245 tentang sikap arif dan bijaknya dalam menyikapi pihak yang mengkafirkan dirinya.
2.      Dalam juz 3 hal.353 tentang pengakuannya terkait Iman dan Taqwa yang dimiliki mereka yang dicapnya sebagai Ahli Bid’ah.
3.      Dalam juz 13 hal.96 ada pengakuannya tentang jasa Ahli Bid’ah dalam penyebaran Islam.
4.       Dalam juz 13 hal.97 ada pengakuannya tentang  jasa Ahli Bid’ah dalam membela Islam.
5.      Dalam juz 35 hal.201 ada pengakuannya tentang Ahli Bid’ah lebih baik daripada Yahudi dan Nashrani.
Karenanya, kami ber-Husnu Zhonn bahwa semua ungkapan  Ibnu Taimiyah rhm yang negatif tentang Ahli Bait Nabi SAW dalam kitab Minhaajus Sunnah hanya merupakan sikap lama (qodim) yang sudah diinsyafinya, atau merupakan  kekhilafan karena luapan emosi saat menanggapi tuduhan-tuduhan keji Kaum Roofidhoh terhadap Para Shahabat Nabi SAW, sebagaimana digambarkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani rhm dalam kitab Lisaanul Miizaan :
" وكم من مبالغة لتوهين كلام الرافضي أدته أحيانا إلى تنقيص علي ."
Artinya : ”Berapa banyak sikap berlebihan )Ibnu Taimiyah( dalam merendahkan perkataan Roofidhi terkadang mengantarkannya kepada merendahkan Ali RA.”
Hadaaniyallaahu wa Iyyaakum ilaa Shiroothihil Mustaqiim ...
Wallaahul Muwaffiq ilaa Aqwamith Thoriiq ...

Wassalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ...

Ushul Dan Furu'


Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ...
Bismillaah Wal Hamdulillaah ...
Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ...
Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ...
Salah satu penyebab Takfir antara kaum muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan Furu’uddin.
Ushuluddin adalah pokok-pokok  / dasar-dasar ajaran agama Islam  yang sangat prinsip dan amat mendasar serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil qoth’i yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu penyimpangan yang wajib diluruskan.
Sedang Furu’uddin adalah cabang-cabang / ranting-ranting ajaran agama Islam  yang sangat penting tapi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil syar’i yang mu’tabar. Setiap perbedaan dalam Furu’ merupakan Ikhtilaf yaitu khilafiyah yang wajib dihargai.
Baik Ushuluddin mau pun Furu’uddin sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syar’i, Jika tidak ada Dalil Syar’i, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furu’. Karenanya, peranan Dalil Syar’i dalam Ushul dan Furu’ sangat penting dan amat menentukan.
PERAN USHUL DAN FURU’
Karenanya, memahami Ushuluddin dan Furu’uddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas meluruskan terhadap penyimpangan.
Problemnya, banyak kalangan awam umat Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furu’. Ada kelompok yang melihat Ushul sebagai Furu’, sehingga mereka toleransi terhadap Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furu’.
Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan Furu’, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan.
Sebaliknya, ada lagi kelompok yang melihat Furu’ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap Perbedaan Furu’ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul.
Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya lantaran Perbedaan Furu’, baik dalam soal Furu’ Aqidah seperti masalah Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furu’ Syariah seperti Qunut Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan.   
Oleh sebab itu, umat Islam wajib berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furu’, agar mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau Furu’ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud mau pun Dilalah.
NILAI HUJJAH
Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syar’i kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah :
1.      Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qoth’i secara Wurud.
2.      Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud.
Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga terbagi Dua Nilai Hujjah :
1.      Setiap dalil yang Mono Tafsir atau Mono Ta’wil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai hujjahnya Qoth’i secara Dilalah.
2.      Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah.
METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU
Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furu’ secara singkat adalah sebagai berikut :
1.      Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin.
Contoh : Firman Allah dalam QS.112.Al-Ikhlas ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, dan Qoth’i juga secara Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin.
Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam.
2.      Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin.
Contoh : Hadits Nabi SAW dalam Sunan Abi Daud hadits ke-3.121 dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke 10.913, tentang perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas ”Mautaa” merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara Dilalah karena Multi Ta’wil, dimana kata ”Mautaa” bisa berarti orang yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal dunia, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin.
Karenanya, umat Islam berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang membolehkan keduanya.
3.      Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin.
Contoh : Firman Allah dalam QS.4.An-Nisaa : 43 dan QS.5.Al-Maa-idah : 6 tentang salah satu yang membatalkan wudhu adalah ”Laamastumun Nisaa” merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, namun Zhonni secara Dilalah karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya ”menyentuh perempuan” dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan ada pula yang menafsirkannya ”menggauli perempuan”, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin.
Karenanya, Ulama berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada  yang mensyaratkan menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu.
4.      Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qoth’i dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab.
Contoh : Hadits Nabi SAW tentang pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qoth’i secara Dilalah karena Mono Ta’wil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab.
Aswaja menjadikan iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja, karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Mu’tazilah menolaknya, karena bagi Mu’tazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad karena nilainya Zhonni, sehingga Mu’tazilah tidak percaya adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur.
Disini, Mu’tazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Mu’tazilah bukan Aswaja.
USHUL FURU’ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ
Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furu’uddin sering didentikkan dengan Syariat,  karena kebanyakan masalah Furu’  adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam Furu’uddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq.
Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furu’ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah : Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furu’ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq.
Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah Furu’,  baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq.
CONTOH USHUL DAN FURU’
Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furu’ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain :
a.      Dalam masalah Aqidah, Iman kepada Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau hanya melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Mu’tazilah, adalah masalah Furu’ Aqidah.
b.    Dalam masalah Syariah, Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat Jama’ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah Furu’ Syariah.
c.       Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata ”Sayyiduna” bagi yang pria dan ”Sayyidatuna” bagi yang wanita, apakah boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah Furu’ Akhlaq.
USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB
Ushul Islam adalah Ushuluddin yang mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan (Inhiraf). Dan penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan.
Barangsiapa menolak atau membangkang terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari  pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul  tetap merupakan kesesatan yang mesti diluruskan.
Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya.
Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai Ushul.
Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek hukumnya menyerupai Furu’uddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah perbedaan.
Namun demikian, masih banyak pihak yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya.
KONSEKWENSI DUA USHUL
Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk :
1.      Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan.
2.   Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab.
Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab :
1.      Kemakhluqan Al-Qur’an ?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluq.

Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Mu’tazilah, dan sebaliknya Mu’tazilah pun menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah.
Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Mu’tazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin.

2.      Ta’wil Ayat Sifat ?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Salaf mau pun Khalaf, meyakini bahwa menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan. Sedang kalangan Wahabi  yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf yang paling Aswaja, menolak ta’wil sifat-sifat Allah SWT, sehingga mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung dengan Makna Hakiki.

Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah.
Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Ta’wil Sifat dipastikan bukan Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Ta’wil Sifat dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin

3.      Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallaahu ’anhum. Sedang Syi’ah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-’Askari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu ’anhum.
Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, dan sebaliknya Syi’ah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah.

Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syi’ah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin.
KESIMPULAN
Perbedaan Ushul dan Furu’ sesuai dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut :
 
1.      Ushul berdasarkan dalil qoth’i, sedang Furu’ berdasarkan dalil zhonni.
2.      Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furu’ tidak.
3.      Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furu’ tidak.
4.      Ushul harus disepakati, sedang Furu’ tidak mesti.
5.      Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furu’ menerima.
6.      Ushul tidak bisa berubah, sedang Furu’ ada yang bisa berubah.
7.      Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furu’ tidak.
8.      Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furu’ perbedaannya disebut Ikhtilaf.
9.      Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furu’ perbedaannya harus dihargai.
10.   Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furu’ perbedaannya melahirkan Madzhab.
 
Dengan demikian jelas, bahwa pengetahuan tentang Ushul dan Furu menjadi sangat penting bagi umat Islam, sehingga mutlak dibutuhkan pembelajaran Metodologi Pemilahan antara Ushul dan Furu kepada kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip.
Untuk memenuhi kebutuhan umat tersebut, maka Alhamdulillah saya mendapat kesempatan baik untuk merampungkan Desertasi Ph.D dalam bahasa Arab di University Sains Islam Malaysia (USIM) di Bandar Nilai – Malaysia dengan judul ”Manaahijut Tamyiiz bainal Ushuul wal Furuu’ ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah” artinya ”Metodologi Pemilahan Ushul dan Furu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” di bawah bimbingan Guru Besar USIM bidang Ushuluddin, yaitu Prof.DR.Kamaluddin Nurdin Marjuni dan Prof.Dr.Ahmad Abdul Malik, Hafizhohumallaahu Ta’aalaa..
Insya Allah, dalam waktu dekat akan rampung dan diujikan di USIM, untuk kemudian bisa dipublikasikan bagi kepentingan umat Islam.
Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamiin ...
 
Sumber : www.habibrizieq.com
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com