Meski diketahui sifat mereka sesungguhnya, Rasulullah tetap
memperlakukan orang-orang munafik itu seperti orang Muslim pada umumnya.
Meski demikian umat Islam tetap mewaspadai kemunafikan mereka.
Peristiwa pengusiran Yahudi Bani Qunaiqa dari Madinah, berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas, telah membeberkan fakta kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu, jelas bahwa dia adalah seorang munafik sejati yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.
Kendatipun demikian, seperti diterangkan Allahuyarham Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqhus Sirah-nya, Rasulullah Saw tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikanya. Tidak juga memperlakukanya sebagai seorang musyrik atau murtad atau orang yang berdusta dalam menganut Islam. Rasulullah Saw bahkan memuluskan permintaan tuntutannya itu.
Ini menunjukan --sebagaimana disepakati para ulama-- bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslim sebagai orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri atas dua aspek: (1) aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepala negara; (2) aspek lain yang akan diterapkan kelak di akhirat yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah Swt semata.
Sejauh yang menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empiris (nyata) karena setiap keputusan hukum harus didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan kesimpulan dari indikasi tidak boleh digunakan disini.
Adapun menyangkut aspek kedua, sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadilinya adalah Allah Swt. Kaidah ini jelaskan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Umar ra: “Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya, kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian di antara kalian lebih pandai ber-hujjah daripada yang lain sehingga aku memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Karenanya, siapa yang mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendaklah ia mengambilnya, karena hal itu hanyalah segenggam dari api neraka.”
Hikmah ditetapkannya kaidah ini agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Hal ini karena mungkin ada saja sebagian penguasa yang memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan hal–hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hati, hanya ingin bertindak zalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksana terhadap kaidah syar’iyah inilah, Rasullullah Saw, kendatipun banyak mengetahui ihwal kaum munafik dan apa yang terpendam di dalam hati mereka melalui wahyu Allah Swt, dalam hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka (kaum munafik) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin, tanpa membeda-bedakan.
Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati terhadap kaum munafik dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakan mereka karena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi. Wallahu a’lam.
Peristiwa pengusiran Yahudi Bani Qunaiqa dari Madinah, berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas, telah membeberkan fakta kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu, jelas bahwa dia adalah seorang munafik sejati yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.
Kendatipun demikian, seperti diterangkan Allahuyarham Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqhus Sirah-nya, Rasulullah Saw tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikanya. Tidak juga memperlakukanya sebagai seorang musyrik atau murtad atau orang yang berdusta dalam menganut Islam. Rasulullah Saw bahkan memuluskan permintaan tuntutannya itu.
Ini menunjukan --sebagaimana disepakati para ulama-- bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslim sebagai orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri atas dua aspek: (1) aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepala negara; (2) aspek lain yang akan diterapkan kelak di akhirat yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah Swt semata.
Sejauh yang menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empiris (nyata) karena setiap keputusan hukum harus didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan kesimpulan dari indikasi tidak boleh digunakan disini.
Adapun menyangkut aspek kedua, sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadilinya adalah Allah Swt. Kaidah ini jelaskan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Umar ra: “Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya, kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian di antara kalian lebih pandai ber-hujjah daripada yang lain sehingga aku memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Karenanya, siapa yang mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendaklah ia mengambilnya, karena hal itu hanyalah segenggam dari api neraka.”
Hikmah ditetapkannya kaidah ini agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Hal ini karena mungkin ada saja sebagian penguasa yang memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan hal–hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hati, hanya ingin bertindak zalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksana terhadap kaidah syar’iyah inilah, Rasullullah Saw, kendatipun banyak mengetahui ihwal kaum munafik dan apa yang terpendam di dalam hati mereka melalui wahyu Allah Swt, dalam hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka (kaum munafik) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin, tanpa membeda-bedakan.
Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati terhadap kaum munafik dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakan mereka karena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi. Wallahu a’lam.
Red : Ahmad Syufi
0 komentar:
Posting Komentar