Dalam Islam, orang yang jelas-jelas menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh.
Dibunuh karena pendapatnya merusak Islam
Orang yang menciptakan dan menyebarkan
pendapat yang merusak/ menghina, mengingkari ataupun menyelewengkan
Islam ternyata dalam sejarah Islam pun dibunuh.
Jahm bin Shofwan As-Samarkandi adalah
orang yang sesat, pembuat bid’ah, pemimpin aliran sesat Jahmiyah. Ia
mati (dibunuh) pada masa tabi’in kecil (belakangan). Ibnu Hajar
Al-‘Asqolani mengatakan dalam kitabnya, Lisanul Mizan, “Saya tidak
mengetahui dia (Jahm) meriwayatkan sesuatu tetapi dia menanam keburukan
yang besar, titik.” Jahm bin Shofwan telah dibunuh pada tahun 128H .[1]
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari
jalan Muhammad bin Shalih maula (bekas budak) Bani Hasyim, ia berkata,
Salm (bin Ahwaz) berkata ketika menangkap Jahm, “Wahai Jahm,
sesungguhnya aku tidak membunuhmu karena kamu memerangiku
(memberontakku). Kamu bagiku lebih sepele dari itu, tetapi aku telah
mendengar kamu berkata dengan perkataan yang kamu telah memberikan janji
kepada Allah agar aku tidak memilikimu kecuali membunuhmu”. Maka ia
(Salm bin Ahwaz) membunuhnya.
Dan riwayat dari jalan Mu’tamir bin
Sulaiman dari Halad At-Thafawi, bahwa telah sampai khabar kepada Salm
bin Ahwaz sedangkan ia (Salim) di atas kepolisian Khurasan, (beritanya
adalah): Jahm bin Shofwan mengingkari bahwa Allah telah berbicara kepada
Musa dengan sebenar-benarnya bicara, maka ia (Salm bin Ahwaz)
membunuhnya (Jahm bin Shofwan)..
Riwayat dari jalan Bakir bin Ma’ruf, ia
berkata, Saya melihat Salm bin Ahwaz ketika memukul leher (membunuh)
Jahm maka menghitamlah wajah Jahm.[2]
Hadits-hadits tentang suruhan membunuh
orang yang menghina Islam, menghalalkan dibunuhnya orang yang menghina
Islam, dan disertai praktek yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah jelas. Praktek itu dilakukan pula
oleh kalangan tabi’in. Generasi selanjutnya pun mempraktekkannya, hingga
Al-Hallaj, tokoh tasawuf sesat dibunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas
keputusan para ulama, karena Al-Hallaj mengatakan anal haqq (aku adalah
al-haq/ Allah). Lontaran pendapat Al-Hallaj itu merusak Islam, maka
dihukumi dengan hukum bunuh. Maka walaupun ada orang-orang yang
mengingkari semua itu, namun kebenaran hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam , praktek para sahabat, tabi’in dan para ulama berikutnya
telah membuktikannya.
Hukum Bunuh atas Orang yang Menghina Islam, Allah, dan Rasul-Nya.
Ka’b bin Al-Asyraf dibunuh karena ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
1069 حَدِيثُ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُحِبُّ أَنْ
أَقْتُلَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ ائْذَنْ لِي فَلْأَقُلْ قَالَ قُلْ
فَأَتَاهُ فَقَالَ لَهُ وَذَكَرَ مَا بَيْنَهُمَا وَقَالَ إِنَّ هَذَا
الرَّجُلَ قَدْ أَرَادَ صَدَقَةً وَقَدْ عَنَّانَا فَلَمَّا سَمِعَهُ قَالَ
وَأَيْضًا وَاللَّهِ لَتَمَلُّنَّهُ قَالَ إِنَّا قَدِ اتَّبَعْنَاهُ
الْآنَ وَنَكْرَهُ أَنْ نَدَعَهُ حَتَّى نَنْظُرَ إِلَى أَيِّ شَيْءٍ
يَصِيرُ أَمْرُهُ قَالَ وَقَدْ أَرَدْتُ أَنْ تُسْلِفَنِي سَلَفًا قَالَ
فَمَا تَرْهَنُنِي قَالَ مَا تُرِيدُ قَالَ تَرْهَنُنِي نِسَاءَكُمْ قَالَ
أَنْتَ أَجْمَلُ الْعَرَبِ أَنَرْهَنُكَ نِسَاءَنَا قَالَ لَهُ
تَرْهَنُونِي أَوْلَادَكُمْ قَالَ يُسَبُّ ابْنُ أَحَدِنَا فَيُقَالُ
رُهِنَ فِي وَسْقَيْنِ مِنْ تَمْرٍ وَلَكِنْ نَرْهَنُكَ اللَّأْمَةَ
يَعْنِي السِّلَاحَ قَالَ فَنَعَمْ وَوَاعَدَهُ أَنْ يَأْتِيَهُ
بِالْحَارِثِ وَأَبِي عَبْسِ بْنِ جَبْرٍ وَعَبَّادِ بْنِ بِشْرٍ قَالَ
فَجَاءُوا فَدَعَوْهُ لَيْلًا فَنَزَلَ إِلَيْهِمْ قَالَ سُفْيَانُ قَالَ
غَيْرُ عَمْرٍو قَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ إِنِّي لَأَسْمَعُ صَوْتًا
كَأَنَّهُ صَوْتُ دَمٍ قَالَ إِنَّمَا هَذَا مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ
وَرَضِيعُهُ وَأَبُو نَائِلَةَ إِنَّ الْكَرِيمَ لَوْ دُعِيَ إِلَى
طَعْنَةٍ لَيْلًا لَأَجَابَ قَالَ مُحَمَّدٌ إِنِّي إِذَا جَاءَ فَسَوْفَ
أَمُدُّ يَدِي إِلَى رَأْسِهِ فَإِذَا اسْتَمْكَنْتُ مِنْهُ فَدُونَكُمْ
قَالَ فَلَمَّا نَزَلَ نَزَلَ وَهُوَ مُتَوَشِّحٌ فَقَالُوا نَجِدُ مِنْكَ
رِيحَ الطِّيبِ قَالَ نَعَمْ تَحْتِي فُلَانَةُ هِيَ أَعْطَرُ نِسَاءِ
الْعَرَبِ قَالَ فَتَأْذَنُ لِي أَنْ أَشُمَّ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ فَشُمَّ
فَتَنَاوَلَ فَشَمَّ ثُمَّ قَالَ أَتَأْذَنُ لِي أَنْ أَعُودَ قَالَ
فَاسْتَمْكَنَ مِنْ رَأْسِهِ ثُمَّ قَالَ دُونَكُمْ قَالَ فَقَتَلُوهُ *.
Dari Jaabir bin ‘Abdillah
radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Siapakah yang akan (mencari) Ka’b bin
Al-Asyraf. Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya ”.
Muhammad bin Maslamah pun segera bangkit berdiri dan berkata : “Wahai
Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya ?”. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Benar”. Maka Muhammad bin
Maslamah berkata : “Ijinkanlah aku membuat satu strategi (tipu
muslihat)”. Beliau menjawab : “Lakukanlah !”.
Kemudian Muhammad bin Maslamah
mendatangi Ka’b bin Al-Asyraf dan berkata kepadanya : “Sesungguhnya
laki-laki ini (maksudnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
meminta kepada kita shadaqah. Sungguh, ia telah menyulitkan kita. Dan
aku (sekarang) mendatangimu untuk meminjam kepadamu”. Maka Ka’b menjawab
: “Aku pun juga demikian ! Demi Allah, sungguh engkau akan merasa jemu
kepadanya”. Ibnu Maslamah berkata : “Sesungguhnya kamu telah
mengikutinya dan kami tidak akan meninggalkannya hingga kami melihat
bagaimana keadaan yang ia alami kelak. Dan sesungguhnya kami
berkeinginan agar engkau sudi meminjami kami satu atau dua wasaq
makanan”. Ka’b berkata : “Ya, tapi hendaknya engkau menggadaikan sesuatu
kepadaku”. Ibnu Maslamah dan kawan-kawannya bertanya : “Jaminan apa
yang engkau inginkan ?”. Ka’b menjawab : “Hendaknya engkau menggadaikan
wanita-wanita kalian”. Mereka berkata : “Bagaimana kami bisa
menggadaikan wanita-wanita kami kepadamu sementara engkau adalah
laki-laki ‘Arab yang paling tampan”. Ka’b berkata : (Kalau begitu),
gadaikanlah anak-anak kalian”. Mereka berkata : “Bagaimana kami bisa
menggadaikan anak-anak kami, lantas akan dicaci salah seorang di antara
mereka dengan mengatakan : ‘ia digadaikan dengan satu wasaq atau dua
wasaq makanan’ ? Yang demikian itu akan membuat kami cemar. Akan tetapi
kami akan menggadaikan senjata kami”. Maka Ka’b membuat perjanjian
dengan Ibnu Maslamah agar ia (Ibnu Maslamah) mendatanginya (pada hari
yang ditentukan). Maka Ibnu Maslamah pun mendatanginya pada suatu malam
bersama Abu Naailah – ia adalah saudara sepersusuan Ka’b. Mereka berdua
pun memanggil Ka’b untuk datang ke tempat senjata yang digadaikan. Ka’b
pun memenuhi panggilan mereka. Istri Ka’b bertanya kepada Ka’b : “Mau
pergi kemana malam-malam begini ?”. Ka’b menjawab : “Ia hanyalah
Muhammad bin Maslamah dan saudaraku Abu Naailah”. Istrinya berkata :
“Sungguh aku mendengar suara bagaikan tetesan darah”. Ka’b berkata :
“Dia itu saudaraku Muhammad bin Maslamah dan saudara sepersusuanku Abu
Naailah.
Sesungguhnya seorang dermawan jika
ia dipanggil di malam hari meskipun untuk ditikam, ia akan tetap
memenuhinya”. Muhammad bin Maslamah masuk ke tempat yang telah
ditentukan bersama dua orang laki-laki. Ia (Ibnu Maslamah) berkata
kepada mereka berdua : “Jika Ka’b datang, maka aku akan mengucapkan
sya’ir kepadanya, dan menciumnya. Jika kalian melihat aku sudah
menyentuh kepalanya, maka pukullah ia”. Muhammad bin Maslamah juga
berkata : “Kemudin aku juga akan menyilakan kalian menciumnya pula”.
Ka’b pun datang kepada mereka dengan pakaian yang indah dan bau yang
harum semerbak. Muhammad bin Maslamah berkata : “Aku belum pernah
mencium bau yang lebih harum dibandingkan hari ini”. Ia menjawab : “Aku
memang mempunyai istri yang paham dengan minyak wangi yang paling
unggul, dan ia adalah orang Arab yang paling baik”. Muhammad bin
Maslamah berkata : “Apakah engkau mengijinkan aku untuk mencium kepalamu
?”. Ka’b menjawab : “Ya, silakan”. Maka ia pun mencium kepala Ka’b,
yang kemudian diikuti dua orang temannya yang ikut mencium kepalanya
pula. Muhammad bin Maslamah kembali berkata : “Apakah engkau mengijinkan
aku untuk mencium kepalamu lagi ?”. Ka’b menjawab : “Ya”. Ketika ia
memegang kepala Ka’b, ia pun berkata kepada dua orang temannya :
“Bunuhlah ia !”. Maka mereka pun membunuhnya. Setelah itu, mereka
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhabarkan perihal
Ka’b bin Al-Asyraf” (Muttafaq ‘alaih/ HR. Al-Bukhari no. 4037. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 1801]
Orang yang jelas-jelas menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh.
Dalam kitab Bulughul Maram dan
syarahnya, Subulus Salam pada bab qitalul jani wa qotlul murtad
dikemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasaai, dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no 3665,
3795 حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى
الْخُتَّلِيُّ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَدَنِيُّ عَنْ
إِسْرَائِيلَ عَنْ عُثْمَانَ الشَّحَّامِ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا
ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَيَنْهَاهَا
فَلَا تَنْتَهِي وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ قَالَ فَلَمَّا كَانَتْ
ذَاتَ لَيْلَةٍ جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَتَشْتُمُهُ فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا
وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا فَوَقَعَ بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ
فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَمَعَ النَّاسَ
فَقَالَ أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ
إِلَّا قَامَ فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ
حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا كَانَتْ تَشْتُمُكَ
وَتَقَعُ فِيكَ فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَأَزْجُرُهَا فَلَا
تَنْزَجِرُ وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ وَكَانَتْ بِي
رَفِيقَةً فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ
فِيكَ فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأْتُ
عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ *. (أبو داود).
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada
seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang
melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah
mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu
juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Hingga pada satu
malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di
perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya.
Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya
menodai tempat tidurnya. Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda : “Aku bersumpah
dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri
sekarang juga di hadapanku”. Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan
berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di
hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Wahai
Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan
merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan
aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai
anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu
adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan
merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di
perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Saksikanlah bahwa darah wanita itu hadar /
sia-sia” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4361, An-Nasaa’iy no. 4070, dan yang lainnya; shahih].
Darahnya itu hadar, maksudnya darah
perempuan yang mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sia-sia,
tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat/
tebusan darah. Jadi darahnya halal alias halal dibunuh.
Juga ada hadits,
3796 حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ عَنْ جَرِيرٍ عَنْ مُغِيرَةَ
عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ يَهُودِيَّةً
كَانَتْ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ
فِيهِ فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فَأَبْطَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا *. (أبو داود).
Diriwayatkan dari As-Sya’bi dari Ali
radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita Yahudi telah memaki/ menghina
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencelanya, maka seorang lelaki
mencekiknya hingga mati, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membatalkan darahnya. (HR Abu Dawud, menurut Al-Albani dalam Irwaul Ghalil hadits no 1251 ini isnadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim).
Itu artinya halal dibunuh.
Sejarah tahapan menyikapi orang kafir
Di antara ayat-ayat
Al-Qur’an yang menegaskan suruhan memerangi orang kafir, bersikap keras,
dan membenci mereka telah jelas nashnya (teksnya). Meskipun demikian,
orang JIL seperti Ulil Abshar Abdalla sengaja ingin menyembunyikannya.
Di samping jelasnya ayat-ayat tersebut, para ulama telah menjelaskan
pula tentang sejarah tahapan sikap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta sahabatnya dalam menghadapi orang-orang kafir. Di
antaranya Ibnul Qayyim menjelaskan, yang intinya sebagai berikut:
Pasal : Urutan petunjuk dalam melawan
kuffar dan munafik sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan
sampai meninggal dunia.
Pertama kali yang diwahyukan Allah kepadanya ialah supaya beliau membaca,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)
dengan atas nama rabb yang telah menciptakan.
Itulah awal nubuwwahnya. Dia memerintah supaya beliau membaca dengan
nama diri-Nya dan belum diperintahkan pada saat itu untuk bertabligh
(menyampaikan).
Kemudian turun ayat,
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ(1) قُمْ فَأَنْذِرْ(2)
Hai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan ! (QS Al-Muddattsir: 1-2).
Beliau diangkat menjadi Nabi dengan firman-Nya اقرأ dan menjadi Rasul dengan firman-Nya ياايهاالمدثر.
Kemudian perintah memberi peringatan
kepada kaum kerabatnya yang dekat, kemudian kepada kaumnya, lalu
lingkungan sekelilingnya dari bangsa Arab, kemudian kepada Arab Qatibah,
kemudian kepada seluruh alam dunia.
Beliau menjalankan da’wah setelah
pengangkatnnya sebagai Nabi dan Rasul selama kurang lebih sepuluh tahun
tanpa peperangan, dan diperintahkan untuk menahan, sabar, dan memaafkan.
Kemudian baru diizinkan untuk berhijrah dan diizinkan pula untuk
menyerang, kemudian diperintahkan berperang melawan orang yang
menyerangnya. Kemudian diperintahkan untuk berperang melawan musyrikiin
sehingga dien ini semua milik Allah.
Kaum kafir yang hidup berdampingan dengan beliau setelah turunnya perintah jihad ini menjadi tiga golongan:
1. Ahlus Sulhi (perdamaian) dan Hudnah (gencatan senjata).
2. Ahlul Harbi (yang harus diperangi)
3. Ahludz Dzimmah (yang di bawah kekuasaan pemerintah Islam).
Dan memerintah kepada Ahlus Sulhi untuk
menyempurnakan perjanjiannya. Beliaupun diperintahkan untuk menepatinya
selama mereka istiqamah/ konsisten atas perjanjian. Jika ditakutkan di
antara mereka ada yang berkhianat, maka perjanjian ditinggalkan. Dan
tidak memerangi mereka sampai mereka melanggar perjanjian. Dan memang
beliau diperintah untuk memerangi orang yang melanggar perjanjian…”.[3]
Walahu a’lam bisshawaab.
(Dikutip dari buku Hartono Ahmad Jaiz, "Menangkal Bahaya JIL dan FLA" terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004).
Catatan kaki:
- Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, Lisanul Mizan, juz 2, halaman 142.
- Ibnu Hajar al-‘Asqolani, Fat-hul Bari, juz 13, halaman 346.
- Lihat Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’aad fii Hudaa Khairil ‘Ibaad, 2/81 seperti dikutip Dr Sayyid Muhammad Nuh, Manhaj Rassulullah, terjemahan Abu Miqdad Muhammad, Majlis Ta’lim Radio Dakta Bekasi, cetakan pertama, 1998, hal 138-139.
0 komentar:
Posting Komentar