Selasa, 06 Januari 2015

Menguak Sejarah Madrasah di Indonesia (3)


Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta

MUNCULNYA madrasah pada abad 20 ini ada juga yang meperkirakan berbarengan dengan munculnya Ormas Islam, semisal Muhammadiyah, NU, dan lain-lain.10 Mengapa madrasah muncul pada masa kolonial Belanda sekitar awal abad ke-20, bukan sebelumnya?

Ada dua analisis: pertama, karena beberapa kali usulan Volksraad (Dewan Rakyat) agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum selalu ditolak oleh Belanda. Belanda bahkan memberlakukan ordonansi Indische Staatsregeling pasal 179 ayat 2 yang menyatakan bahwa “pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Dan, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah”.

Sampai dengan akhir pemerintahan Belanda di Indonesia, pengajaran agama di sekolah umum atau open baar orderwijs tidak pernah menjadi kenyataan. Hal ini menumbuhkan inisiatif untuk mendirikan model sekolah di luar kebijakan Belanda yang memberi muatan pelajaran agama Islam lebih, namun berbeda dengan komposisi materi PAI di pesantren dan sejenisnya yang telah ada sebelumnya. Lembaga tersebut adalah madrasah (Timur Djaelani 1982:36-37).

Dari berbagai literatur tentang munculnya madrasah di Indonesia, dapat dijelaskan bahwa paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya madrasah di Indonesia. Dua faktor tersebut yaitu yang pertama adalah adanya gerakan pembaharuan Islam di wilayah Timur Tengah dan Mesir di mana banyak pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Timur-Tengah setelah kembalinya dari wilayah tersebut membawa semangat pembaharuan ke tanah air.

Kedua, adalah respon terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Pemerintah melakukan standar ganda dalam politik etiknya. Pemerintah penjajah hanya mengembangkan pendidikan yang memiliki manfaat bagi pemerintah penjajah saja. Perbaikan pendidikan berbasis Islam justru mereka khawatirkan berdampak buruk bagi kepentingan penjajah.

Pada awalnya pemerintah penjajah akan menggunakan “tradisi pendidikan” pribumi untuk menerapkan pendidikan dalam rangka politik etiknya akan tetapi hal ini tida terjadi, hal ini diungkapkan oleh A. Steenbrink yang di kutip oleh H. Maksum (1998:93) dinyatakan bahwa:

Dalam membahasa penelitian yang diperintahkan Gubernur Jenderal Fort van der Capellen 1819, seorang sarjana Belanda Brugmen menduga bahwa pemerintah akan menerapkan pendidikan yang berdasarkan pribumi murni, secara teratur sesuai dengan masyarakat desa, yang dihubungkan erat pada pendidikan Islam yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dimungkinkan dengan alasan politik asosiasi Hindia Belanda. Tetapi hal ini dalam kenyataannya tidak terbukti.

Hal tersebut tidak terlaksana karena pada tataran teknis usulan tersbut sulit untuk direalisasikan karena, tradisi pendidikan Islam saat itu dianggap tidak layak diadopsi baik dari sisi kurikulum, manajerial atau metodenya. Pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya khususnya dalam rangka misionaris (Maksum: 1999:93).

A. Tumbuhnya Madrasah pada Masa Penjajahan
Pertama kali penjajah menginjakkan kakinya di bumi nusantara, mereka menjumpai bahwa sebagian besar penduduknya beragama Islam yang telah disebarkan oleh para wali, dan pada saat itu pula sudah bentuk-bentuk pendidikan yang dikelola oleh masyarakat muslim dengan menekankan pada aspek-aspek pendidikan agama Islam. Pendidikan ini berlangsung di rumah-rumah, tajuk, mesjid, langgar yang di asuh oleh seorang yang merasa terpanggil untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat kemudian berkembang menjadi sebuah pondok pesantren.

Dalam perkembangannya, pesantren ini menjadi sesuatu yang menarik bagi para sultan dan dianggap sangat berjasa. Akhirnya tidak sedikit pesantren yang mendapat perhatian khusus dari sultan berupa bantuan. Salah satu contohnya adalah Pesantren Tegalsari yang merupakan hadiah sultan bagi para kyai yang dianggap telah banyak jasanya. Sampai pada abad 19 Pondok Pesantren Tegalsari menjadi pondok terkemuka yang santrinya berasal dari berbagai penjuru tanah air (Shaleh, 2004:13).

Ketika rombongan dagang VOC dan kemduian pemerintah kolonila Hindia Belanda menguasai wilayah nusantara sejak tahun 1671, dalam jangka waktu yang cukup lama mereka membiarkan saja kegiatan-kegiatan pendidikan termasuk pesantren berjalan apa adanya. Namun tatkala keperluan akan tenaga terampil tingkat rendahan mulai meningkat, pemerintahan kolonial juga menyelenggarakan pengajaran melalui sistem persekolahan yang diselenggarakan sangat diskriminatif, terutama bila hal itu menyangkut penduduk pribumi.

Sistem persekolah pemerintah Hindia Belanda untuk rakyat Indonesia pada mulanya terbatas untuk kalangan bangsawan, yakni Sekolah Kelas Satu (Hollands Inlandsche Scholl/HIS) dan Sekolah Kelas Dua (Standard School). Sekolah-sekolah ini diselenggarakan untuk tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah, juga pegawai perdagangan dan perusahaan. Dalam politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda, pendirian sekolah-sekolah ini merupakan langkah susulan setelah sebelumnya pemerintah hanya menyediakan pendidikan bagi kalangan Belanda sendiri.

Karena berbagai alasan akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengembangkan sistem persekolahan untuk rakyat luas dengan biaya murah. Mulai saat ini rakyat yang pada awalnya hanya memperoleh pendidikan dari lembaga-lembaga pendidikan tradisional termasuk dari pesantren, akhirnya memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda ini. Dengan munculnya gerakan ini dan respon dari masyarakat yang cukup bagus, maka dirasakan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional adanya “saingan” dalam pendidikan.

BERSAMBUNG

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com