Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta
MUNCULNYA madrasah pada abad 20 ini ada juga yang meperkirakan
berbarengan dengan munculnya Ormas Islam, semisal Muhammadiyah, NU, dan
lain-lain.10 Mengapa madrasah muncul pada masa kolonial Belanda sekitar
awal abad ke-20, bukan sebelumnya?
Ada dua analisis: pertama, karena beberapa kali usulan Volksraad (Dewan
Rakyat) agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di
perguruan umum selalu ditolak oleh Belanda. Belanda bahkan
memberlakukan ordonansi Indische Staatsregeling pasal 179 ayat 2
yang menyatakan bahwa “pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa
pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama
masing-masing. Dan, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam
sekolah”.
Sampai dengan akhir pemerintahan Belanda di Indonesia, pengajaran agama di sekolah umum atau open baar orderwijs tidak
pernah menjadi kenyataan. Hal ini menumbuhkan inisiatif untuk
mendirikan model sekolah di luar kebijakan Belanda yang memberi muatan
pelajaran agama Islam lebih, namun berbeda dengan komposisi materi PAI
di pesantren dan sejenisnya yang telah ada sebelumnya. Lembaga tersebut
adalah madrasah (Timur Djaelani 1982:36-37).
Dari berbagai literatur tentang munculnya madrasah di Indonesia,
dapat dijelaskan bahwa paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakangi
munculnya madrasah di Indonesia. Dua faktor tersebut yaitu yang pertama
adalah adanya gerakan pembaharuan Islam di wilayah Timur Tengah dan
Mesir di mana banyak pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di
Timur-Tengah setelah kembalinya dari wilayah tersebut membawa semangat
pembaharuan ke tanah air.
Kedua, adalah respon terhadap kebijakan pemerintah Hindia
Belanda yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Pemerintah melakukan
standar ganda dalam politik etiknya. Pemerintah penjajah hanya
mengembangkan pendidikan yang memiliki manfaat bagi pemerintah penjajah
saja. Perbaikan pendidikan berbasis Islam justru mereka khawatirkan
berdampak buruk bagi kepentingan penjajah.
Pada awalnya pemerintah penjajah akan menggunakan “tradisi
pendidikan” pribumi untuk menerapkan pendidikan dalam rangka politik
etiknya akan tetapi hal ini tida terjadi, hal ini diungkapkan oleh A.
Steenbrink yang di kutip oleh H. Maksum (1998:93) dinyatakan bahwa:
Dalam membahasa penelitian yang diperintahkan Gubernur Jenderal Fort
van der Capellen 1819, seorang sarjana Belanda Brugmen menduga bahwa
pemerintah akan menerapkan pendidikan yang berdasarkan pribumi murni,
secara teratur sesuai dengan masyarakat desa, yang dihubungkan erat pada
pendidikan Islam yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dimungkinkan dengan
alasan politik asosiasi Hindia Belanda. Tetapi hal ini dalam
kenyataannya tidak terbukti.
Hal tersebut tidak terlaksana karena pada tataran teknis usulan
tersbut sulit untuk direalisasikan karena, tradisi pendidikan Islam saat
itu dianggap tidak layak diadopsi baik dari sisi kurikulum, manajerial
atau metodenya. Pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk
persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya
khususnya dalam rangka misionaris (Maksum: 1999:93).
A. Tumbuhnya Madrasah pada Masa Penjajahan
Pertama kali penjajah menginjakkan kakinya di bumi nusantara, mereka
menjumpai bahwa sebagian besar penduduknya beragama Islam yang telah
disebarkan oleh para wali, dan pada saat itu pula sudah bentuk-bentuk
pendidikan yang dikelola oleh masyarakat muslim dengan menekankan pada
aspek-aspek pendidikan agama Islam. Pendidikan ini berlangsung di
rumah-rumah, tajuk, mesjid, langgar yang di asuh oleh seorang yang
merasa terpanggil untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada
masyarakat kemudian berkembang menjadi sebuah pondok pesantren.
Dalam perkembangannya, pesantren ini menjadi sesuatu yang menarik
bagi para sultan dan dianggap sangat berjasa. Akhirnya tidak sedikit
pesantren yang mendapat perhatian khusus dari sultan berupa bantuan.
Salah satu contohnya adalah Pesantren Tegalsari yang merupakan hadiah
sultan bagi para kyai yang dianggap telah banyak jasanya. Sampai pada
abad 19 Pondok Pesantren Tegalsari menjadi pondok terkemuka yang
santrinya berasal dari berbagai penjuru tanah air (Shaleh, 2004:13).
Ketika rombongan dagang VOC dan kemduian pemerintah kolonila Hindia
Belanda menguasai wilayah nusantara sejak tahun 1671, dalam jangka waktu
yang cukup lama mereka membiarkan saja kegiatan-kegiatan pendidikan
termasuk pesantren berjalan apa adanya. Namun tatkala keperluan akan
tenaga terampil tingkat rendahan mulai meningkat, pemerintahan kolonial
juga menyelenggarakan pengajaran melalui sistem persekolahan yang
diselenggarakan sangat diskriminatif, terutama bila hal itu menyangkut
penduduk pribumi.
Sistem persekolah pemerintah Hindia Belanda untuk rakyat Indonesia
pada mulanya terbatas untuk kalangan bangsawan, yakni Sekolah Kelas Satu
(Hollands Inlandsche Scholl/HIS) dan Sekolah Kelas Dua (Standard School).
Sekolah-sekolah ini diselenggarakan untuk tujuan mencetak
pegawai-pegawai pemerintah, juga pegawai perdagangan dan perusahaan.
Dalam politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda, pendirian
sekolah-sekolah ini merupakan langkah susulan setelah sebelumnya
pemerintah hanya menyediakan pendidikan bagi kalangan Belanda sendiri.
Karena berbagai alasan akhirnya pemerintah Hindia Belanda
mengembangkan sistem persekolahan untuk rakyat luas dengan biaya murah.
Mulai saat ini rakyat yang pada awalnya hanya memperoleh pendidikan dari
lembaga-lembaga pendidikan tradisional termasuk dari pesantren,
akhirnya memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang dibuat
oleh pemerintah Hindia Belanda ini. Dengan munculnya gerakan ini dan
respon dari masyarakat yang cukup bagus, maka dirasakan oleh
lembaga-lembaga pendidikan tradisional adanya “saingan” dalam
pendidikan.
BERSAMBUNG
0 komentar:
Posting Komentar