Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta
DALAM perkembangannya, Ordonansi Guru sendiri mengalami perubahan
dari keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi kehaursan guru
agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Selain Ordonansi Guru,
pemerintah Hindia Belanda juga pada tahun 1932 mengeluarkan peraturan
yang dapat memberantas dan menutup sekolah yang tidak ada izinya, atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Hindia Belanda,
kebijakan ini disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonanite).
Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendididkan harus
terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. Laporan-laporan
mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus diberikan seara berkala.
Ketidak lengkapan laporan sering dijaidkan alasan untuk menutup kegiatan
pendidikan di kalangan masyarakat tertentu.
Kebijajakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih
berlanjut pada masa penajajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa
modifikasi. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan dari pada
penajajah Belanda, tetapi kebijakan dasar pemerintah penajajah Jepang
berorientasi pada penguatan kekuasannya di Indonesia.
Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintah Jepang
mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan
madrasah. Berbeda dengan kolonial Belanda, pemerintah Jepang membiarkan
dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa
pemerintahan sebelumnya.
Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa
madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi
pendudukan Jepang di Indonesia.
B. Madrasah pada Masa Awal Kemerdekaan
Ditengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap
membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu
secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan
Departemen P&K (Depdikbud).
Oleh karena itu maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama
antara keuda departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di
sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta). Adapun pembinaan pendidikan
agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen Pendidikan Agama
sendiri.
Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi
oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan agama
sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman
Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah.
Perkembangan madrasah pada masa awal kemerdekaan sangat terkait
dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri sejak 3 Januari
1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik
pendidikan Islam di Indonesia. Oreintasi usaha Departemen Agama dalam
bidan pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi ummat Islam agar
pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada
pengembangan madrasah itu sendiri.
Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh satu bagian khusus
yang mengurusi masalah pendidikan agama. dalam salah satu dokumen
disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama
itu meliputi (1) Memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan
partikular (2) memberi pengetahuan umum di madrasah, dan (3) mengadakan
pendidikan guru agama (PGA) dan pendidikan hakim Islam negeri (PHIN).
Dengan tugas-tugas seperti di atas, Departemen Agama dapat dikatakan
sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan
pendidikan Islam secara lebih meluas di Indonesia. Dalam kaitannya
dengan perkembangan madrasah, Departemen tersebut menjadi andalan yang
secara politis dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh
perhatian yang serius di kalangan pemimpin yang mengambil kebijakan.
Di samping melanjutkan usaha-usaha yang dirintis oleh sejumlah tokoh
seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, KH. Ilyas, Mahmud Yunus
dll. Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program
perluasan dan peningkatan mutu pendidikan.
Perkembangan madrasah yang paling spektakuler pada masa orde lama
adalah dengan didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan
Hakim Islam negeri (PHIN) (Maksum, 1999:124). Hal ini dianggap
sepektakuler karena berdirinya kedua lembaga pendidikan Islam ini
sebagai momentum penting perkembangan madarasah karena:
Pertama, Pendidikan ini akan mencetak tenaga-tenaga profesional dalam pengembangan agama Islam.
kedua, Pendidikan Guru Agama akan mencetek calon-calon guru
agama yang fokus pada pendidikan agama Islam. Khusus mengenai PGA,
akarnya memang sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan khususnya di
wilayah Minangkabau, tetapi dengan pendidirian PGA oleh Depertemen
Agama, kelanjutan madrasah di Indonesia mendapat jaminan yang lebih
strategis.
PGA menghasilkan guru-guru agama yang secara praktis akan menjadi
motor bagi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan madrasah.
Ketersediaan guru yang disuplai oleh lembaga tersebut semacam menjamin
perkembangan madrasah di Indonesia.
Dari catatan Mahmud Yunus yang dikutip oleh Ainurrofik (2005:44)
diperoleh data bahwa sejarah perkembangan PGA pada masa itu bermula dari
program Departemen Agama yang ditangani oleh Abdullah Sigit sebagai
penanggungjawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950 bagian ini membuka
dua lembaga pendidikan yang dikatakan sebagai madrasah profesional
keguruan, yaitu : Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Sekolah ini terdiri
dari dua jenjang yaitu jenjang jangka panjang yang selama lima tahun
yang diperuntukkan bagi siswa lulusan SR/MI dan jenjang jangka pendek
yang hanya ditempuh selama dua tahun yang diperuntukkan bagi lulusan
SMP/Madrasah Tsanawiyah.
Pada perkembangan selanjutnya SGAI berubah menjadi Pendidikan Guru
Agama (PGA) dan SGHI berubah menjadi Sekolah Hakim Guru Agama (SHGA).
0 komentar:
Posting Komentar