Selasa, 06 Januari 2015

Menguak Sejarah Madrasah di Indonesia (1)


Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta


Prolog

MADRASAH merupakan isim makan dari kata darasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Dalam konteks Indonesia isitlah madrsah ini telah menyatu dengan istilah sekolah formal atau perguruan di bawah binaan Departemen Agama. Tetapi tidak demikian dalam sejarahnya. Madrasah merupakah tahap ketiga dari perkembangan sejarah pendidikan Islam dari urutan pertama yaitu masjid, tahap kedua yaitu Masjid-khan dan kemudian madrasah. (Asari: 1994:45).

Masjid pada awal-awal perkembangan Islam tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah seperti shalat saja, akan tetapi mesjid digunakan juga sebagai tempat yang muliti guna. Selain fungsi utamanya untuk beribadah, mesjid juga digunakan untuk sentral kegitan masyarakat muslim saat itu. Dengan demikian bahwa pada awal-awal perkembangan Islam, masyarakat muslim saat itu telah memperluas fungsi mesjid tidak hanya untuk beribadah sholat, akan tetapi juga digunakan untuk lembaga pengajaran, rumah pengadilan, aula pertemuan bagi tentara, dan rumah penyambutan duta (Maksum, 1999:54). Sebelum lahirnya madrasah, masjid merupakan tempat yang umum yang biasa dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan semua kegiatan di atas.

Ketika rasul dengan para shahabatnya hijrah ke Madihan, salah satu program pertama yang dia lakukan adalah pembangunan sebuhah mesjid yang belakangan terkenal sebagai Masjid Nabi. Di masjid inilah sekelompok sahabat yang bergelar ashhab al-shuffah menghabiskan waktu mereka untuk beribadah dan belajar.

Praktik nabi menjadi preseden bagi para khalifah dan pengusaha muslim sesudahnya, dan pembangunan masjid berlanjut terus di daerah-daerah kekuasan muslim. Setiap kota memiliki sejumlah masjid, sebab pembangunannya tidak saja dilakukan oleh pengusaha secara resmi, tetapi juga oleh para bangsawan, hartawan dan swadaya masyarakat pada umumnya.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab dijumpai sejumlah tenaga pengajar yang secara resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar di masjid-masjid Kuffah, Basrah dan Damskus (Asari, 1994:34). Fungsi masjid sebagai rumah ibadah dan sebagia lembaga pendidikan berjalan secara harmonis. Pada umumnya masjid memang dibangun sebagi tempat ibadah, dengan fungsi akademis sebagai sekunder.

Akan tetapi, tak jarang pula masjid dibangun dengan niat awal sebagai lembaga pendidikan tanpa mengabaikan fungsinya sebagai tempat ibadah. Sejumlah masjid bahkan diberi nama sesuai dengan nama syaikh yang mengajar di dalamnya. Beberapa bahkan secara khusus dibangun untuk seorang sarjana yang nantinya akan mengelola kegiatan pendidikan di masjid tersebut. Sekedar contoh sebut saja Masjid Al-Syafi’i, Masjid Al-Syamargani dan Masjid Abu Bakar Al-Syami, masing-masing merujuk pada nama sarjana yang mengajar di dalamnya (Asari, 1994:34).

Tahap kedua dari sejarah pendidikan Islam adalah masjid-khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan asrama atau pondokan bagi para siswa untuk belajar yang masih berdampingan dengan mesjid.
Ada beberapa teori yang menyatakan mengenai peran mesjid sebagai tempat pendidikan dipertimbangkan dan mulai dipikirkan adanya asrama atau khan sebagai tempat pemondokan bagi para siswa. Diantara pertimbangan itu adalah:

Pertama, kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lemabaga itu sebagai tempat ibadah. Kedua, berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan berekembangnya ilmu pengetahuan, banyak ilmu tidak bisa lagi sepenuhnya diajarkan di masjid. Ketiga, timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagian guru mulai berfikir untuk mendapatkan rizki melalui kegiatan pendidikan. Ada diantara pengajar yang pekerjaannya sepenuhnya memang mengajar, oleh karena itu dibangunlah lembaga lain karena jaminan itu tidak mungkin diperolehnya di masjid (Maksum, 1999: 56).

Berbeda dengan mesjid pada umumnya, mesjid-khan ini dilengkapi dengan bangunan asrama untuk tempat tinggal para siswa yang akan menuntut ilmu dari berbagai penjuru kota. Secara umum kata khan berarti penginapan, motel atau yang sejenisnya. Menurut Maqdisi seperti yang dikutif oleh Asari (1994:41) bahwa dalam sejarah kebudayaan Islam, khan bisa pula berarti bangunan yang berfungsi sebagai gudang atau pusat perdagangan dan ada pula khan yang secara finansial didukung oleh wakaf dan penghasilannya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sosial.

Berbicara lembaga pendidikan mesjid-khan maka makna yang paling tepat untuk memahami kata khan adalah asrama. Pembangunan khan ini berkaitan erat dengan kependulian umat Islam masa itu terhdap para penuntut ilmu, khususnya merek ayang beerasal dari luar daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa luar kota harus bersusah payah mengurus sendiri tempat tinggalnya selama masa belajaranya. Khan adalah jawaban terhadap persoalan ini, khan biasanya dibangun berdampingan dengan masjid, atau setidaknya pada lokasi yang tidak jauh dari masjid dan tetap mengesankan satu komplek terpadu.

BERSAMBUNG

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com