Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta
Prolog
MADRASAH merupakan isim makan dari kata darasa yang
berarti tempat duduk untuk belajar. Dalam konteks Indonesia isitlah
madrsah ini telah menyatu dengan istilah sekolah formal atau perguruan
di bawah binaan Departemen Agama. Tetapi tidak demikian dalam
sejarahnya. Madrasah merupakah tahap ketiga dari perkembangan sejarah
pendidikan Islam dari urutan pertama yaitu masjid, tahap kedua yaitu
Masjid-khan dan kemudian madrasah. (Asari: 1994:45).
Masjid pada awal-awal perkembangan Islam tidak hanya digunakan
sebagai tempat ibadah seperti shalat saja, akan tetapi mesjid digunakan
juga sebagai tempat yang muliti guna. Selain fungsi utamanya untuk
beribadah, mesjid juga digunakan untuk sentral kegitan masyarakat muslim
saat itu. Dengan demikian bahwa pada awal-awal perkembangan Islam,
masyarakat muslim saat itu telah memperluas fungsi mesjid tidak hanya
untuk beribadah sholat, akan tetapi juga digunakan untuk lembaga
pengajaran, rumah pengadilan, aula pertemuan bagi tentara, dan rumah
penyambutan duta (Maksum, 1999:54). Sebelum lahirnya madrasah, masjid
merupakan tempat yang umum yang biasa dilakukan oleh masyarakat untuk
melakukan semua kegiatan di atas.
Ketika rasul dengan para shahabatnya hijrah ke Madihan, salah satu
program pertama yang dia lakukan adalah pembangunan sebuhah mesjid yang
belakangan terkenal sebagai Masjid Nabi. Di masjid inilah sekelompok
sahabat yang bergelar ashhab al-shuffah menghabiskan waktu mereka untuk beribadah dan belajar.
Praktik nabi menjadi preseden bagi para khalifah dan pengusaha muslim
sesudahnya, dan pembangunan masjid berlanjut terus di daerah-daerah
kekuasan muslim. Setiap kota memiliki sejumlah masjid, sebab
pembangunannya tidak saja dilakukan oleh pengusaha secara resmi, tetapi
juga oleh para bangsawan, hartawan dan swadaya masyarakat pada umumnya.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab dijumpai sejumlah tenaga pengajar
yang secara resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar di
masjid-masjid Kuffah, Basrah dan Damskus (Asari, 1994:34). Fungsi masjid
sebagai rumah ibadah dan sebagia lembaga pendidikan berjalan secara
harmonis. Pada umumnya masjid memang dibangun sebagi tempat ibadah,
dengan fungsi akademis sebagai sekunder.
Akan tetapi, tak jarang pula masjid dibangun dengan niat awal sebagai
lembaga pendidikan tanpa mengabaikan fungsinya sebagai tempat ibadah.
Sejumlah masjid bahkan diberi nama sesuai dengan nama syaikh yang
mengajar di dalamnya. Beberapa bahkan secara khusus dibangun untuk
seorang sarjana yang nantinya akan mengelola kegiatan pendidikan di
masjid tersebut. Sekedar contoh sebut saja Masjid Al-Syafi’i, Masjid
Al-Syamargani dan Masjid Abu Bakar Al-Syami, masing-masing merujuk pada
nama sarjana yang mengajar di dalamnya (Asari, 1994:34).
Tahap kedua dari sejarah pendidikan Islam adalah masjid-khan, yaitu
masjid yang dilengkapi dengan bangunan asrama atau pondokan bagi para
siswa untuk belajar yang masih berdampingan dengan mesjid.
Ada beberapa teori yang menyatakan mengenai peran mesjid sebagai
tempat pendidikan dipertimbangkan dan mulai dipikirkan adanya asrama
atau khan sebagai tempat pemondokan bagi para siswa. Diantara
pertimbangan itu adalah:
Pertama, kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lemabaga itu sebagai tempat ibadah. Kedua,
berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Dengan berekembangnya ilmu pengetahuan, banyak ilmu tidak
bisa lagi sepenuhnya diajarkan di masjid. Ketiga, timbulnya
orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagian guru mulai
berfikir untuk mendapatkan rizki melalui kegiatan pendidikan. Ada
diantara pengajar yang pekerjaannya sepenuhnya memang mengajar, oleh
karena itu dibangunlah lembaga lain karena jaminan itu tidak mungkin
diperolehnya di masjid (Maksum, 1999: 56).
Berbeda dengan mesjid pada umumnya, mesjid-khan ini dilengkapi dengan
bangunan asrama untuk tempat tinggal para siswa yang akan menuntut ilmu
dari berbagai penjuru kota. Secara umum kata khan berarti
penginapan, motel atau yang sejenisnya. Menurut Maqdisi seperti yang
dikutif oleh Asari (1994:41) bahwa dalam sejarah kebudayaan Islam, khan bisa pula berarti bangunan yang berfungsi sebagai gudang atau pusat perdagangan dan ada pula khan yang secara finansial didukung oleh wakaf dan penghasilannya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sosial.
Berbicara lembaga pendidikan mesjid-khan maka makna yang paling tepat untuk memahami kata khan adalah
asrama. Pembangunan khan ini berkaitan erat dengan kependulian umat
Islam masa itu terhdap para penuntut ilmu, khususnya merek ayang
beerasal dari luar daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa luar kota harus
bersusah payah mengurus sendiri tempat tinggalnya selama masa
belajaranya. Khan adalah jawaban terhadap persoalan ini, khan biasanya
dibangun berdampingan dengan masjid, atau setidaknya pada lokasi yang
tidak jauh dari masjid dan tetap mengesankan satu komplek terpadu.
BERSAMBUNG
0 komentar:
Posting Komentar