Selasa, 06 Januari 2015

Menguak Sejarah Madrasah di Indonesia (4)

Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta

PERKEMBANGAN sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda yang begitu gencar dan diterima oleh rakyat Indonesia telah menggugah para tokoh Islam untuk menanggapi fenomena ini. Meskipun pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan yang luas kepada warga pribumi untuk memperoleh pendidikan, namun masih nampak kebijakan yang bersifat diskriminatif. Bagaimanapun kebijakan ini tidak akan membuat cerdas bangsa Indonesia, karena kesempatan pendidikan yang diberikan oleh penajajah hanya sampai pada pendidikan dasar.

Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam yang diyakini oleh mayoritas penduduk Indonesia yaitu kesempatan memperoleh hak yang sama dan kesetaraan. Kesempatan ini juga harus menjadi momen bagi tokoh Islam saat itu untuk memberikan yang lebih baik dalam pendidikan Islam baik dari sisi metode, kurikulum, materi, struktruktur kelembagaan, manajerial dan sebagainya agar pendidikan Islam dapat diterima oleh masyarakat dan mampu bersaing dengan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Bersamaan dengan hal itu, pemerintah Belanda tida begitu respon dengan perkembangan pendidikan Islam, mereka menganggap percuma merespon dan memberikan kebijakan tertentu terhadap pendidikan Islam karena pendidikan Islam di anggap pendidikan moral keagamaan yang memeberikan motivasi spiritual dan mungkin bisa membangkitkan semangat perjuangan untuk melawan penjajahan.

Dipicu oleh semangat Pan Islamisme dan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah dan Mesir yang imbasnya merambah ke tanah air melalui pelajar-pelajar yang kembali setelah menyelesaikan studinya, baik dari Mesir maupun yang telah bermukim di Makkah dan Madinah dengan tujuan belajar agama selama dua, empat sampai enam tahun. Mereka membangkitkan gerakan pembaruan di bidang pendidikan Islam.

Di Sumatera muncul antara lain Madraah Adabiyah yang didirikan di Padang oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1908. Pada tahun 1915 madrasah ini berubah menjadi HIS Adabiyah. Sementara itu pada tahun 1910 Syaikh M. Taib Umar juga mendirikan Madrasah Shcoel di Batusangkar, sedangkah H. Mahmud Yunus pada tahun 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan pada Madrasah Schoel.

Di Aceh didirikan madrasah yang pertama pada tahun 1930 bernama Saadah Adabiyah oleh Tengku Daud Beureuh. Madrasah Al-Muslim oleh Tengku Abdul Rahman Munasah Mencap, Madrasah Sarul Huda dan banyak madrasah lainnya. Hal serupa terjadi juga di Sumatera Timur, Tapanuli, Sumetera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan lain-lain.

Organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan banyak mendirikan madrasah dan juga sekolah umum dengan nama, jenis dan tingkatan yang bermacam-macam diantaranya:
  1. Muhammadiyyah (1912) mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin/Mu’allimat, Muballighin/Muballighat dan Madrasah Diniyah
  2. Al-Irsyad (1913), mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibdtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassis.
  3. Matlaul Anwar di Menes Banten mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah.
  4. Pesatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (1928) mendirikan madrasah dengan berbagai nama, diantaranya Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, Kuliyah Syariah.
  5. Nahdhatul Ulama (1926) mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya. (Shaleh, 2004:20)
Pada masa kesultanan, madrasah memperoleh dukungan dan bantuan, bahkan ada yang didirkan atas nama sultan sehingga madrasah dapat tumbuh dan berkembang dengan mutu lulusan dan kualitas penyelenggaraan yang baik. Namun di masa kolonial, sesuai dengan tugas kolonialisme, madrsah dikatergorikan sebagai sekolah liar, bahkan pemerintah kolonial telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan mematikan sekolah partikelir termasuk madrasah.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden (Zuhairini, 1995: 149).

Atas nasihan badan inilah maka pada tauhun 1905 pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan Ordonasi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.

BERSAMBUNG

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com