Oleh Dr. Manpan Drajat, M.Ag., Dosen UIN SGD Bandung DPK STAI DR.KH.EZ. Muttaqien Purwakarta, Ketua STAI DR.KH.EZ.Muttaqien Purwakarta
PERKEMBANGAN sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda yang
begitu gencar dan diterima oleh rakyat Indonesia telah menggugah para
tokoh Islam untuk menanggapi fenomena ini. Meskipun pemerintah Hindia
Belanda memberikan kesempatan yang luas kepada warga pribumi untuk
memperoleh pendidikan, namun masih nampak kebijakan yang bersifat
diskriminatif. Bagaimanapun kebijakan ini tidak akan membuat cerdas
bangsa Indonesia, karena kesempatan pendidikan yang diberikan oleh
penajajah hanya sampai pada pendidikan dasar.
Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam
yang diyakini oleh mayoritas penduduk Indonesia yaitu kesempatan
memperoleh hak yang sama dan kesetaraan. Kesempatan ini juga harus
menjadi momen bagi tokoh Islam saat itu untuk memberikan yang lebih baik
dalam pendidikan Islam baik dari sisi metode, kurikulum, materi,
struktruktur kelembagaan, manajerial dan sebagainya agar pendidikan
Islam dapat diterima oleh masyarakat dan mampu bersaing dengan sekolah
yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Bersamaan dengan hal itu, pemerintah Belanda tida begitu respon
dengan perkembangan pendidikan Islam, mereka menganggap percuma merespon
dan memberikan kebijakan tertentu terhadap pendidikan Islam karena
pendidikan Islam di anggap pendidikan moral keagamaan yang memeberikan
motivasi spiritual dan mungkin bisa membangkitkan semangat perjuangan
untuk melawan penjajahan.
Dipicu oleh semangat Pan Islamisme dan gerakan pembaharuan Islam di
Timur Tengah dan Mesir yang imbasnya merambah ke tanah air melalui
pelajar-pelajar yang kembali setelah menyelesaikan studinya, baik dari
Mesir maupun yang telah bermukim di Makkah dan Madinah dengan tujuan
belajar agama selama dua, empat sampai enam tahun. Mereka membangkitkan
gerakan pembaruan di bidang pendidikan Islam.
Di Sumatera muncul antara lain Madraah Adabiyah yang didirikan di
Padang oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1908. Pada tahun 1915
madrasah ini berubah menjadi HIS Adabiyah. Sementara itu pada tahun 1910
Syaikh M. Taib Umar juga mendirikan Madrasah Shcoel di Batusangkar,
sedangkah H. Mahmud Yunus pada tahun 1918 mendirikan Diniyah Schoel
sebagai lanjutan pada Madrasah Schoel.
Di Aceh didirikan madrasah yang pertama pada tahun 1930 bernama
Saadah Adabiyah oleh Tengku Daud Beureuh. Madrasah Al-Muslim oleh Tengku
Abdul Rahman Munasah Mencap, Madrasah Sarul Huda dan banyak madrasah
lainnya. Hal serupa terjadi juga di Sumatera Timur, Tapanuli, Sumetera
Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan lain-lain.
Organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan banyak
mendirikan madrasah dan juga sekolah umum dengan nama, jenis dan
tingkatan yang bermacam-macam diantaranya:
- Muhammadiyyah (1912) mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin/Mu’allimat, Muballighin/Muballighat dan Madrasah Diniyah
- Al-Irsyad (1913), mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibdtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassis.
- Matlaul Anwar di Menes Banten mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah.
- Pesatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (1928) mendirikan madrasah dengan berbagai nama, diantaranya Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, Kuliyah Syariah.
- Nahdhatul Ulama (1926) mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya. (Shaleh, 2004:20)
Pada masa kesultanan, madrasah memperoleh dukungan dan bantuan,
bahkan ada yang didirkan atas nama sultan sehingga madrasah dapat tumbuh
dan berkembang dengan mutu lulusan dan kualitas penyelenggaraan yang
baik. Namun di masa kolonial, sesuai dengan tugas kolonialisme, madrsah
dikatergorikan sebagai sekolah liar, bahkan pemerintah kolonial telah
mengeluarkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan mematikan sekolah
partikelir termasuk madrasah.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam
pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya
militansi kaum muslimin terpelajar. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda
membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama
dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden (Zuhairini, 1995: 149).
Atas nasihan badan inilah maka pada tauhun 1905 pemerintah Hindia
Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam mengeluarkan kebijakan yang
disebut dengan Ordonasi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama
untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Latar belakang Ordonansi Guru
ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga
pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap
penjajah.
BERSAMBUNG
0 komentar:
Posting Komentar