Jakarta - Prihatin dengan maraknya perilaku
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan bahaya yang
ditimbulkan karena perilaku seksual menyimpang itu, Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa tentang keharaman
gay, lesbian, sodomi, dan pencabulan.
“Penetapan fatwa ini didasari karena MUI memiliki perhatian terhadap maraknya kasus-kasus kejahatan seksual yang dalam perspektif Islam merupakan tindakan luar biasa,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, Kamis (15/01).
Hukum Islam, dijelaskan Niam, dibangun atas lima prinsip dasar yang salah satunya adalah melindungi kehormatan dan melindungi keturunan. Untuk itu, sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan, Komisi Fatwa MUI merespon isu-isu aktual tersebut. Salah satunya, dengan melakukan pembahasan sekaligus penetapan fatwa mengenai hukuman pelaku tindakan kejahatan seksual.
Ia mengatakan, tindakan kejahatan seksual yang dimaksud bukan hanya perzinaan dan pencabulan. Tetapi, termasuk di dalamnya tindakan sodomi dan homoseksual.
Dalam perspektif hukum Islam, ujarnya, satu-satunya pintu yang absah untuk menyalurkan hasrat seksual adalah melalui pernikahan dan pernikahan dilakukan antara laki-Laki dan perempuan yang memenuhi persyaratan.
"Akan tetapi, di masyarakat terjadi pemerkosaan, pencabulan, sodomi, homoseksualitas. Akhirnya, pada tanggal 31 Desember 2014 Komisi Fatwa dengan seluruh anggotanya yang kurang lebih 50 ulama dari berbagai ormas Islam berkumpul dan menyepakati fatwa tentang homoseksualitas, sodomi, dan pencabulan," ujar Niam.
Lebih lanjut, Niam yang juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini mengungkapkan dalam fatwa ini diatur beberapa ketentuan hukum:
Pertama, hubungan seksual hanya dibolehkan untuk suami istri. Yakni pasangan laki-laki dan wanita berdasarkan pernikahan yang sah secara syari.
Kedua, orientasi seksual terhadap sesama jenis atau homoseksual adalah bukan fitrah tetapi kelainan yang harus disembuhkan.
Ketiga, pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan tersebut merupakan kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik had maupun takzir oleh pihak yang berwenang.
Keempat, melakukan sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa besar dan pelakunya dikenakan had untku zina. Kelima, pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.
"Jadi kalau takzir itu adalah jenis hukuman yang tidak ditetapkan kadarnya oleh nash tetapi diserahkan oleh kebijakan mekanisme peraturan perundang-undangan. Had itu adalah ketentuan hukum yang kadar dan jenisnya itu sudah disebutkan di dalam nash baik Alquran dan Hadits," jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, ketentuan lain yang diatur dalam fatwa ini, yaitu pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis dan korbannya adalah anak-anak terkena hukuman had dan takzir. Selain itu pelakunya diberikan tambahan hukuman, pemberatan bahkan hingga hukuman mati.
Kemudian, pelampiasan nafsu seksual kepada seseorang yang belum memiliki ikatan pernikahan yang sah baik itu kepada lawan jenis maupun sesama jenis. Baik dewasa atau anak-anak hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.
Yang terakhir, melegalkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya hukumnya haram. "Artinya, melegalkan sesuatu yang ilegal tentu tidak diperkenakan secara hukum," katanya.
Rekomendasi
Dalam fatwa tersebut, MUI juga menetapkan rekomendasi terkait fatwa tersebut.
“Pertama, DPR dan pemerintah diminta untuk menyusun peraturan perundang undangan yang mengatur larangan legalisasi terhadap komunitas homoseksual serta komunitas lain yang memilki orientasi seksual menyimpang,” ungkap Niam.
Kemudian, pemerintah harus merehabilitasi pelaku penyimpangan seksual sebagai wujud tanggung jawab sosial untuk penyembuhan.
Tak lupa, pemerintah harus mengatur mekanisme hukuman berat terhadap aktivitas sodomi yang dapat berfungsi untuk memberi efek jera pada pelaku. Serta, memasukkan aktivitas seksual menyimpang sebagai delik umum atau delik biasa dan merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur kemanusiaan.
"Kemudian yang tidak kalah penting adalah pemerintah wajib mencegah meluasnya penyimpangan orientasi seksual. Artinya kalau ada orang yang terindikasi memiliki sifat lelaki yang sifatnya keperempuan atau perempuan yang kelaki-lakian itu ada langkah-langkah penyembuhan. Pengembalian kepada fitrah kemanusiaan," ujar Niam.
Hal lainnya yang menjadi rekomendasi MUI, yakni pemerintah tidak boleh mengakui pernikahan sesama jenis. Hal tersebut dikarenakan bertentangan dengan prinsip-prinsip bernegara.
“Pemerintah dan masyarakat tidak boleh membiarkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi penyimpangan seksual lainnya hidup dan tumbuh di tengah masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban sosial dan hukum,” pungkasnya.
red : Ahmad Syufi
“Penetapan fatwa ini didasari karena MUI memiliki perhatian terhadap maraknya kasus-kasus kejahatan seksual yang dalam perspektif Islam merupakan tindakan luar biasa,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, Kamis (15/01).
Hukum Islam, dijelaskan Niam, dibangun atas lima prinsip dasar yang salah satunya adalah melindungi kehormatan dan melindungi keturunan. Untuk itu, sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan, Komisi Fatwa MUI merespon isu-isu aktual tersebut. Salah satunya, dengan melakukan pembahasan sekaligus penetapan fatwa mengenai hukuman pelaku tindakan kejahatan seksual.
Ia mengatakan, tindakan kejahatan seksual yang dimaksud bukan hanya perzinaan dan pencabulan. Tetapi, termasuk di dalamnya tindakan sodomi dan homoseksual.
Dalam perspektif hukum Islam, ujarnya, satu-satunya pintu yang absah untuk menyalurkan hasrat seksual adalah melalui pernikahan dan pernikahan dilakukan antara laki-Laki dan perempuan yang memenuhi persyaratan.
"Akan tetapi, di masyarakat terjadi pemerkosaan, pencabulan, sodomi, homoseksualitas. Akhirnya, pada tanggal 31 Desember 2014 Komisi Fatwa dengan seluruh anggotanya yang kurang lebih 50 ulama dari berbagai ormas Islam berkumpul dan menyepakati fatwa tentang homoseksualitas, sodomi, dan pencabulan," ujar Niam.
Lebih lanjut, Niam yang juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini mengungkapkan dalam fatwa ini diatur beberapa ketentuan hukum:
Pertama, hubungan seksual hanya dibolehkan untuk suami istri. Yakni pasangan laki-laki dan wanita berdasarkan pernikahan yang sah secara syari.
Kedua, orientasi seksual terhadap sesama jenis atau homoseksual adalah bukan fitrah tetapi kelainan yang harus disembuhkan.
Ketiga, pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan tersebut merupakan kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik had maupun takzir oleh pihak yang berwenang.
Keempat, melakukan sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa besar dan pelakunya dikenakan had untku zina. Kelima, pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.
"Jadi kalau takzir itu adalah jenis hukuman yang tidak ditetapkan kadarnya oleh nash tetapi diserahkan oleh kebijakan mekanisme peraturan perundang-undangan. Had itu adalah ketentuan hukum yang kadar dan jenisnya itu sudah disebutkan di dalam nash baik Alquran dan Hadits," jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, ketentuan lain yang diatur dalam fatwa ini, yaitu pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis dan korbannya adalah anak-anak terkena hukuman had dan takzir. Selain itu pelakunya diberikan tambahan hukuman, pemberatan bahkan hingga hukuman mati.
Kemudian, pelampiasan nafsu seksual kepada seseorang yang belum memiliki ikatan pernikahan yang sah baik itu kepada lawan jenis maupun sesama jenis. Baik dewasa atau anak-anak hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.
Yang terakhir, melegalkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya hukumnya haram. "Artinya, melegalkan sesuatu yang ilegal tentu tidak diperkenakan secara hukum," katanya.
Rekomendasi
Dalam fatwa tersebut, MUI juga menetapkan rekomendasi terkait fatwa tersebut.
“Pertama, DPR dan pemerintah diminta untuk menyusun peraturan perundang undangan yang mengatur larangan legalisasi terhadap komunitas homoseksual serta komunitas lain yang memilki orientasi seksual menyimpang,” ungkap Niam.
Kemudian, pemerintah harus merehabilitasi pelaku penyimpangan seksual sebagai wujud tanggung jawab sosial untuk penyembuhan.
Tak lupa, pemerintah harus mengatur mekanisme hukuman berat terhadap aktivitas sodomi yang dapat berfungsi untuk memberi efek jera pada pelaku. Serta, memasukkan aktivitas seksual menyimpang sebagai delik umum atau delik biasa dan merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur kemanusiaan.
"Kemudian yang tidak kalah penting adalah pemerintah wajib mencegah meluasnya penyimpangan orientasi seksual. Artinya kalau ada orang yang terindikasi memiliki sifat lelaki yang sifatnya keperempuan atau perempuan yang kelaki-lakian itu ada langkah-langkah penyembuhan. Pengembalian kepada fitrah kemanusiaan," ujar Niam.
Hal lainnya yang menjadi rekomendasi MUI, yakni pemerintah tidak boleh mengakui pernikahan sesama jenis. Hal tersebut dikarenakan bertentangan dengan prinsip-prinsip bernegara.
“Pemerintah dan masyarakat tidak boleh membiarkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi penyimpangan seksual lainnya hidup dan tumbuh di tengah masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban sosial dan hukum,” pungkasnya.
red : Ahmad Syufi
sumber: Republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar